Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah perlu menjaga iklim investasi hulu minyak dan gas bumi tetap menarik dengan tetap menghormati kesucian kontrak (contract sanctity) yang telah disepakati sebelumnya.
Anggota Indonesia Petroleum Association (IPA) Tumbur Parlindungan mengatakan bahwa hal utama yang dibutuhkan investor migas adalah contract sanctity atau pengakuan terhadap kesucian kontrak yang disepakati sebelumnya. “Contract sanctity, itu yang paling utama. Karena investasi migas bersifat puluhan tahun, maka investor tidak bisa melakukan evaluasi kalau kontraknya dapat berubah-ubah setiap saat. Itu daftar teratas permasalahan,” katanya dalam diskusi bertajuk Eksplorasi Tanpa Investasi Migas, Rabu (3/7).
Berdasarkan Rancangan Umum Energi Nasional (RUEN) 2015—2050, kebutuhan minyak mentah nasional tercatat terus meningkat. Pada 2025, diproyeksi kebutuhan minyak mencapai sebesar 2,19 juta barel per hari (bph) dan melesat menjadi 4,61 juta bph pada 2050. Dengan pertumbuhan konsumsi energi seperti itu, tidak dapat dipungkiri bahwa peningkatan pasokan energi fosil tetap menjadi isu sentral.
Namun, perkembangan investasi hulu migas di Tanah Air cenderung stagnan, bahkan turun dalam beberapa tahun terakhir. Dalam 10 tahun terakhir, berdasarkan data Laporan Kinerja Ditjen Migas 2018, puncak investasi hulu migas terjadi pada 2013 dan 2014 yang mencapai US$20,38 miliar dan US$20,38 miliar. Sementara itu, investasi hulu migas tercatat merosot jauh menjadi US$11,99 miliar pada 2018.
Faktor internal dan eksternal punya peranan untuk mendorong ataupun menghambat datangnya arus modal masuk ke Tanah Air.
Selain itu, dia juga menyarankan penyusunan kebijakan jangan sampai mengganggu kesepakatan kontrak yang disepakati sebelumnya. Selain itu, dalam menerbitkan kebijakan, pemerintah perlu memperhatikan apakah hal tersebut akan menarik bagi investor atau justru sebaliknya.
"Jangan ada lagi aturan baru yang bertentangan dalam kontrak. Pasalnya, investor punya pilihan, kami tidak punya pilihan, mereka investor bisa pindah ke negara lain," tambahnya.
Dalam Laporan Kinerja Ditjen Migas 2018 disebutkan bahwa faktor internal yang memengaruhi realisasi penandatanganan wilayah kerja migas adalah faktor syarat dan ketentuan (terms and conditions) yang dinilai kurang menarik.
Staf Pengajar Fakultas Ilmu Pertambangan dan Perminyakan Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto menilai bahwa kata kunci yang perlu menjadi perhatian untuk menghadirkan investasi hulu migas adalah kualitas regulasi berdaya saing global.
“Mungkin kami telah banyak melakukan deregulasi, tetapi mungkin juga belum kompetitif. Nah, bagaimana dapat menarik eksplorasi, salah satunya fleksibilitas lebih ditingkatkan. Dampak eksplorasi yang paling konkret adalah ketahanan energi itu sendiri,” katanya, pada kesempatan yang sama.
Dia berharap agar pemerintah lebih membuka diri kepada investor agar mereka berminat melakukan eksplorasi. Salah satu caranya, bisa saja dengan memberikan opsi skema kontrak yang ada.
“Seharusnya kita membuka ruang, tidak terpaku pada pola yang lama. Misalnya production sharing contract [kontrak bagi hasil] konvensional diterapkan, antara eksplorasi dan eksploitasi bisa menjadi kesatuan ataupun dipisah. Esensinya kita harus berani keluar dari pola yang sudah dijalankan saja,” katanya.