Bisnis.com, JAKARTA - Rencana pemerintah menerapkan skema subsidi angkutan massal untuk daerah berupa buy the service atau skema beli layanan tidak boleh merugikan operator.
Pengamat Transportasi Azas Tigor Nainggolan menuturkan, pemerintah harus belajar dari skema buy the service yang diterapkan oleh Transjakarta (TJ) pada awal-awal merintis skema tersebut.
"Kalau saya lihat buy the service TJ ini agak berbeda, akhirnya sekarang ini lebih banyak dikuasai oleh Transjak sendiri, agak banci, dia beli pelayanan dari PPD, DAMRI dan seterusnya dan dia juga punya bus," ungkapnya kepada Bisnis, Selasa (2/7/2019).
Skema seperti itu seharusnya dihindari, entitas seperti TJ seharusnya fokus sebagai representasi pembeli jasanya sehingga skema buy the service dibangun supaya memberikan kepastian bisnis bagi operatornya.
Berdasarkan pengalaman tersebut katanya ada operator yang merugi dan akhirnya tidak dapat membangun bisnisnya, hasilnya layanan menjadi buruk.
"Sistem itu harusnya beri kepastian bisnis bagi pihak yang bekerja sama dengan yang membangung sistem, Kementerian Perhubungan harus memastikan betul sistem yang dibangun ini," ujarnya.
Dengan demikian, harga pelayanan harus menguntungkan bagi operator, supaya operator dapat memberi layanan yang baik. Perlu ditegaskan, harga pelayanan bukanlah harga yang dibebankan ke konsumen.
Dia menuturkan, dalam membangun siste buy the service tersebut, pemerintah tidak bisa berpikir untung. Pasalnya, keuntungan yang didapat bukanlah keuntungan langsung dari berjualan jasa transportasi umum.
"Kalau sistemnya bagus orang akan lebih menggunakan angkutan umum, karena layanannya bagus. Orang jadi pakai angkutan umum kalau sudah begitu kemacetan berkurang, kerugian akibat macet sebelumnya jadi keuntungan," terangnya.
Azas mengatakan, pada dasarnya skema ini membantu operator berkemabang dan tetap memberi layanan terbaik bagi masyarakat, sehingga masyarakat beralih ke angkutan umum.
Skema ini juga sudah banyak digunakan di negara-negara lain yang mengoperasikan bus rapid transit (BRT) termasuk Transjakarta mengingat Pemprov DKI pernah belajar dari Bogota, Kolombia.