Bisnis.com, JAKARTA - Petani sawit yang tergabung dalam dalam Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menilai pungutan ekspor terhadap komoditas ekspor tetap perlu dilanjutkan. Pasalnya, manfaat dari pungutan tersebut telah dirasakan petani lewat berbagai kegiatan seperti Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), beasiswa bagi anak petani dan buruh sawit, dan pelatihan kompetensi petani.
"Apkasindo menegaskan pungutan ekspor harus dipertahankan. Karena program ini menjadi bagian dari upaya pemerintah untuk meningkatkan perekonomian nasional serta daerah," ujar Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Apkasindo Gulat Manurung dalam keterangan resmi yang diterima Bisnis, Kamis (27/6/2019).
Gulat pun menepis anggapan sejumlah pihak yang menyebut bahwa pungutan ekspor menjadi biang keladi turunnya harga tandan buah segar (TBS) sawit petani belakangan ini. Alih-alih demikian, ia menilai pungutan justru sangat berdampak positif bagi petani.
"Sejak pertengahan 2015, dana pungutan yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sangat bermanfaat bagi para petani khususnya. Sebagai contoh, ada 10.000 petani sawit Apkasindo di 22 provinsi dan 116 Kabupaten dan Kota yang mendapatkan pelatihan teknis berkebun," sambungnya.
Gulat menjelaskan bahwa pungutan ekspor turut membantu realisasi program beasiswa bagi anak petani yang sampai saat ini telah diterima oleh 1.500 orang di 22 provinsi untuk pendidikan D1 dan D3 sawit di Instiper Yogyakarta dan Poltek Sawit CWE.
Berdasarkan kajian tim Pakar dan diskusi Apkasindo, selama pungutan ekspor ditunda penerapannya sejak Desember 2018, harga TBS memang sempat bergerak naik sampai Februari 2019. Namun harganya tetap turun sampai hari ini.
"Jadi tidak ada relevansinya antara pungutan ekspor dengan harga TBS yang rendah belakangan ini," kata Sekretaris Jenderal DPP Apkasindo Rino Afrino.
Rino berpendapat penyebab rendahnya harga TBS di tingkat petani adalah mekanisme teknis perhitungan harga dan tata niaga di lapangan. Ia menilai hal-hal tersebut cenderung rancu dan tak disertai pula dengan sanksi bagi pelanggar aturan main sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) nomor 1 tahun 2018 tentang pedoman penetapan harga pembelian TBS produksi pekebun.
Dalam Pasal 4 Permentan tersebut misalnya, disebutkan bahwa perusahaan perkebunan harus membeli TBS pekebun atau petani mitra melalui kelembagaan pekebun.
"Ini artinya, pabrik mesti membeli dari kelembagaan petani dan harus ada kemitraan. TBS tidak dibeli dari tengkulak atau pengepul. Namun kenyataan di lapangan malahan pengepul dan tengkulak yang merajai," ujar Rino.
Sebagaimana diketahui, pada 4 Desember lalu Kementerian Keuangan menerbitkan beleid yang mengatur bea keluar atau tarif pungutan ekspor Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) atas CPO.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 152/PMK.05/2018, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian ESDM dan BPDP-KS diminta melakukan pemantauan atau evaluasi setiap bulan mengenai pungutan ekspor ini dengan mengacu pada fluktuasi harga CPO internasional.
Jika harga CPO internasional berada di bawah level US$570 per ton, pemerintah akan menolkan seluruh tarif ekspor kelapa sawit. Sementara itu, jika harga berada di kisaran US$570 sampai US$619 per ton, maka pungutan ekspor CPO menjadi US$25 per ton. Pungutan ekspor ini akan kembali normal di angka US$50 untuk setiap tonnya apabila harga internasional kembali normal di atas US$619.