Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia mengembalikan lima kontainer berisi limbah plastik dari Amerika Serikat ke Negeri Paman Sam tersebut. Langkah ini serupa dengan kebijakan re-ekspor sampah plastik yang diambil oleh Filipina dan Malaysia.
Permasalahan perdagangan sampah plastik di Asia Tenggara berawal dari kebijakan China yang mulai awal 2018 melarang impor nyaris segala jenis limbah plastik, padahal Negeri Tiongkok sebelumnya merupakan negara pengimpor terbesar.
Pemerintah Xi Jin Ping memutuskan untuk melarang impor limbah plastik, yang didatangkan dari luar negeri oleh industri daur ulang domestik, dengan alasan perlindungan lingkungan dan kualitas udara.
Tertutupnya pintu di China membuat negara maju terpaksa mencari negara lain sebagai tujuan pengapalan limbah plastik. Mayoritas kontainer berisi limbah plastik tersebut berujung ke negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Data dari UN Comtrade menunjukkan gelombang limbah plastik berbelok dari China ke negara-negara di Asia Tenggara hanya dalam setahun. Grafik berikut menunjukkan ekspor limbah dan skrap platik (HS 3915) dari Kanada, Amerika Serikat, Britania Raya, dan Jepang ke China, Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Vietnam berdasarkan laporan negara pengekspor.
Baca Juga
Pada 2017, China menyerap sebagian besar limbah plastik yang dikapalkan oleh 4 negara dengan total volume 1,5 juta ton. Pada 2018, China hanya mengimpor lebih dari 60.000 ton limbah plastik dari 3 negara dan sama sekali tidak menerima pengiriman limbah plastik dari Amerika Serikat.
Pada periode yang sama, impor limbah plastik Malaysia dari 4 negara naik dari 298.000 ton menjadi 537.000 ton. Limbah plastik yang diterima Indonesia dari 4 negara naik dari 70.500 ton menjadi 120.000 ton.
Lonjakan tersebut menunjukkan bahwa Indonesia harus lebih awas terhadap limpahan arus ekspor limbah plastik dari negara maju. Tidak hanya yang ilegal, tetapi juga yang masuk dengan resmi.