Pada 10 Mei 2019, Amerika Serikat (AS) mengumumkan kenaikan tarif impor untuk produk China senilai US$200 miliar, dari semula 10 persen menjadi 25 persen. AS juga akan memberlakukan tarif pada produk impor lain asal China senilai US$300 miliar.
Tindakan AS ini menyebabkan makin memanasnya gesekan perdagangan di antara kedua negara.
AS Memulai Lebih Dulu
Pemerintahan baru di AS yang berkuasa sejak 2017 menerapkan kebijakan ‘America First’. Sejak itu pula, AS sering menyalahkan banyak negara, terutama China, dengan kritikan-kritikan yang tidak sesuai dengan kenyataan.
AS juga mengambil langkah intimidasi ekonomi, termasuk dengan menaikkan tarif impor. Tindakan AS ini adalah untuk memaksa China menerima tuntutan-tuntutan yang semata-mata menguntungkan kepentingan AS sendiri.
Pada April 2018, AS mengenakan tarif sebesar 25 persen atas impor senilai US$50 miliar dari China, dan secara sepihak memicu perang dagang.
AS Maju Mundur dan Ingkar Janji dalam Perundingan
Sepanjang sejarah hubungan kedua negara, China senantiasa menaruh perhatian serius dalam memelihara kestabilan hubungan dengan AS. China juga memegang prinsip kejujuran dan kesabaran dalam membuka banyak perundingan dengan pemerintah AS.
Pada Mei 2018, kedua negara telah mencapai kesepakatan untuk menghindari perang dagang. Kesepakatan ini bahkan telah dikukuhkan dengan pernyataan bersama yang dipublikasikan pada 19 Mei 2018.
Namun, hanya berselang 10 hari kemudian, AS sudah melanggar komitmennya sendiri dalam kesepakatan itu. AS mengumumkan akan menarik tarif impor sebesar 25 persen terhadap sejumlah produk teknologi industri utama asal China senilai US$50 miliar. Tindakan AS ini makin memanaskan gesekan perdagangan di antara kedua negara.
Pada 1 Desember 2018, kepala negara China dan AS bertemu di sela penyelenggaraan KTT G-20 di Buenos Aires, Argentina.
Dalam pertemuan itu, kedua kepala negara telah mencapai kesepahaman penting untuk bersama mendorong hubungan ekonomi kedua negara agar berkembang secara sehat dan stabil. Setelah tercapai kesepahaman, tim ekonomi dan perdagangan dari kedua negara menggelar tujuh putaran negosiasi.
Namun, AS kemudian menggunakan praktik perisakan perdagangan, dengan sering melanggar kesepakatan atau bersikap maju-mundur dalam negosiasi, juga sewenang-wenang menerapkan tarif tinggi terhadap produk impor, bahkan menuntut pembelian secara paksa.
Tindakan-tindakan perisakan perdagangan ini sering membuat perundingan menjadi alot. Dan kini, sekali lagi AS menaikkan tarif impor dan mengakibatkan kemunduran besar dalam proses negosiasi kedua negara.
Bahayakan Dunia
Baik China maupun AS adalah sesama anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), sehingga kedua pihak seharusnya bisa menggunakan jalur Mekanisme Penyelesaian Sengketa WTO untuk mengatasi sengketa perdagangan.
Namun, AS menghindari mekanisme ini, dan justru menyulut perselisihan menggunakan dalih UU dalam negeri mereka sendiri. Tindakan AS ini jelas menginjak-injak aturan perdagangan multilateral, sekaligus menantang sistem perdagangan multilateral yang direpresentasikan oleh WTO.
AS telah menyalahgunakan penetapan tarif impor untuk menekan negara lain. Tindakan AS ini bertentangan dengan prinsip persaingan pasar dan etika perdagangan, sekaligus melawan arus globalisasi ekonomi dunia.
Tindakan ini tentunya merugikan kepentingan dunia bisnis maupun kepentingan konsumen di kedua negara. Lebih dari itu, tindakan ini juga mengancam keamanan rantai industri global, rantai nilai global, dan rantai distribusi global.
Tindakan AS ini telah merusak tatanan perdagangan internasional, sekaligus menyebabkan meningkatnya faktor ketidakpastian dalam pertumbuhan ekonomi global maupun regional, termasuk di Indonesia.
Dalam laporan PBB bertajuk Situasi dan Prospek Ekonomi Dunia 2019, pertumbuhan perdagangan global di tengah memanasnya gesekan perdagangan diramalkan akan menurun dari 5,3 persen pada 2017 menjadi 2,7 persen pada 2019.
Bank investasi terkemuka di AS, Morgan Stanley, juga menerbitkan peringatan bahwa apabila AS mempertahankan tarif impor sebesar 25 persen terhadap produk China senilai US$200 miliar selama 3—4 bulan, maka pertumbuhan ekonomi dunia mungkin akan melambat menjadi 2,7 persen.
Menurut laporan The Institute of International Finance, memanasnya gesekan perdagangan antara China dan AS menyebabkan negara-negara berkembang mengalami pelarian dana asing (capital flight) yang terburuk sejak Oktober 2018.
Lembaga think tank Amerika, Atlantic Council juga merilis hasil riset yang menyatakan bursa saham di negara-negara berkembang anjlok hingga lebih dari 8 persen sejak memanasnya perang dagang antara AS dan China pada awal Mei 2019.
Media di Asia Tenggara juga melaporkan tentang kejatuhan bursa saham di sebagian besar negara Asia Tenggara dalam beberapa waktu terakhir ini.
Menurut Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, dana asing sebesar Rp11 triliun telah meninggalkan Indonesia hanya dalam empat hari antara 13—16 Mei.
Dampak yang ditimbulkan oleh tindakan AS terhadap pasar negara-negara berkembang ini patut diwaspadai.
China Bertekad Melindungi Kepentingan Nasionalnya
Hubungan perdagangan antara China dan AS terwujud dalam tatanan perdagangan bebas dunia. Kedua pihak sama-sama diuntungkan dalam hubungan ini, sehingga tidak ada pihak yang lebih untung atau lebih merugi.
Sikap China dalam hubungan ini sangat jelas—jika ingin berunding, maka pintu terbuka lebar; tetapi jika ingin berperang, maka akan dihadapi dengan gigih sampai penghabisan. Sesungguhnya dalam perang dagang tidak ada pihak yang akan menjadi pemenang. China tidak ingin berperang, tetapi juga tidak takut berperang apabila keadaan memaksa demikian.
Tekanan ekstrem mustahil akan membuat China menyerah. Pemerasan perdagangan juga tidak mungkin akan membuat China mundur. Apabila pihak AS ingin meneruskan langkah perundingan, maka mereka harus mengutamakan kejujuran dan kemauan untuk mengoreksi kesalahan. Perundingan juga harus dilangsungkan atas dasar perlakuan yang setara dan sikap saling menghormati.
Dalam kerja sama ada prinsip yang harus dipegang, dan dalam perundingan ada batas bawah yang tidak bisa ditawar. Terkait dengan masalah-masalah prinsipiel yang utama, China jelas tidak akan berkompromi sedikit pun.
Dunia Harus Menentang Unilateralisme dan Proteksionisme
Gesekan perdagangan antara China dan AS sesungguhnya adalah gesekan antara paham multilateralisme dan unilateralisme, gesekan antara perdagangan bebas dan proteksionisme, serta gesekan antara perundingan berdasar kesetaraan dan strategi perisakan.
Unilateralisme, proteksionisme, dan perisakan tidak akan pernah bisa menyelesaikan masalah, malah bisa menciptakan masalah-masalah baru. Negara-negara di dunia hendaknya bersatu padu untuk menciptakan kue kemakmuran yang besar, lalu berbagi kue ini dengan cara yang baik melalui perundingan yang bersahabat, dan bukannya menggunakan perang dagang untuk menghancurkan kue ini.