Bisnis.com, JAKARTA — Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semesar II-2018 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan adanya potensi kerugian transaksi gas LNG oleh Pertamina.
Dalam IHPS Semester II/2018, disebutkan PT Pertamina (Persero) memiliki realisasi dan potensi return kargo Liquefied Petroleum Gas (LPG) dari Kilang Liquefied Natural Gas (LNG) Badak kepada PT Pertamina (Persero) belum diperhitungkan sebagai penambah pendapatan LNG Muara Bakau minimal sebesar Rp592,56 miliar.
Selain itu, ada pula potensi kerugian atas pembelian LPG yang tidak sesuai spesifikasi kebutuhan Kilang LNG Badak mengurangi pendapatan penjualan LNG ENI Muara Bakau maksimal sebesar Rp222,65 miliar.
BPK juga menyatakan ada temuan permasalahan sistem pengandalian intern yang mengakibatkan hilangnya potensi penerimaan.
Dikutip dari IHPS Semester II/2018, pelaksanaan pengelolaan kilang Liquefied Natural Gas (LNG) Badak terdapat permasalahan yakni belum adanya kesepakatan antara PT Pertamina Hulu Mahakam (PHM) dengan Kementerian Keuangan terkait pembebanan sewa pemanfaatan aset pada Kilang LNG Badak untuk menghasilkan LNG yang dijual kepada Western Buyer Extension (WBX) dan Nusantara Regas (NR), sehingga kepastian pembayaran biaya sewa pemanfaatan aset belum jelas.
Selain itu, belum terdapat pengaturan penetapan tarif sewa pemanfaatan pipeline Badak-Bontang oleh KKKS untuk mengalirkan natural gas ke sentra kompresi gas (SKG) domestik. Kehilangan potensi penerimaan atas pemanfaatan aset kilang LNG Badak antara lain disebabkan oleh tarif sewa pemanfaatan aset Kilang LNG Badak belum ditetapkan secara formal serta pengenaan tarif sewa berdasarkan volume penjualan tidak konsisten dengan metode perhitungan tarifnya.
Baca Juga
Terkait temuan-temuan yang ada, Vice President Corporate Communication Fajriyah Usman mengatakan, untuk mewujudkan keamanan pasokan energi dalam negeri, pihaknya mengutamakan penyerapan LNG dari sumber domestik termasuk produksi LNG dari sumber gas Pertamina Hulu Mahakam (PHM), Pertamina Hulu Sanga-Sanga (PHSS), IDD Bangka, dan Eni Muara Bakau.
“Hal ini dilakukan untuk mengoptimalkan penggunaan fasilitas kilang Badak LNG,” katanya kepada Bisnis, Senin (3/6/2019).
Ada pula temuan terkait Permasalahan Utama Pengendalian Intern atas Pendapatan, Biaya, dan Investasi BUMN. Misalnya, soal pengenaan PPN atas penjualan LPG PT Pertamina (Persero) untuk keperluan inject LNG kepada ENI Muara Bakau sebesar Rp118,34 miliar belum ditentukan statusnya.
Pertamina juga dianggap tidak konsisten menetapkan pembanding dalam menentukan pemenang strip deal dalam menjual LNG Bagian Negara menggunakan batas harga pasar RIM atau platts terendah dalam melakukan penawaran lelang secara spot.
Pertamina juga tidak mengambil penawaran dari calon buyer dengan formula Japan Korea Marker (JKM) yang lebih tinggi dari Japan Crude Cocktail (JCC), serta belum menyusun standar dan acuan yang pasti dalam menentukan harga penjualan LNG.
BPK juga mempermasalahkan perencanaan dan proses Pertamina dalam pembelian LNG jangka panjang selama 20 tahun kepada Corpus Christi Liquefaction, LLC sebanyak 1,52 metric ton per annual (MTPA) tidak dilakukan secara memadai dan mitigasinya meningkatkan risiko finansial jangka panjang perusahaan.
Fajriyah menambahkan, supply dan demand gas sangat dinamis dan banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti harga migas dunia, nilai tukar dan tingkat pertumbuhan industri dalam negeri (pengguna gas).
“Rencana pengembangan bisnis Pertamina mencakup Portfolio LNG yang mengacu pada Neraca Gas Indonesia sampai tahun 2025 dan kajian independen, telah tercantum dalam Rencana Jangka Panjang Perusahaan [RJPP] dengan mengoptimalkan pasokan LNG domestik termasuk pendistribusiannya sampai ke remote area di wilayah Indonesia Tengah dan Timur,” ungkapnya.