Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah harus menyiapkan langkah yang cukup ambisius untuk memperbaiki kinerja investasi sektor padat karya, yang setiap tahun terus kedodoran.
Kebijakan yang lebih komprehensif diperlukan karena insentif fiskal yang digelontorkan pemerintah belakangan ini belum mampu mendorong minat investasi di sektor tersebut.
Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan, tren investasi di sektor padat karya khususnya manufaktur cenderung tak konsisten.
Pada 2014 misalnya, kinerja investasi di sektor ini mampu berkontribusi sebesar 43% dan mencapai titik puncaknya pada 2016 dengan proporsi sebesar 54,8% dari total keseluruhan investasi.
Namun demikian, sejak saat itu, porsi manufaktur dalam realisasi investasi berangsur menyusut. Pada 2017, realisasi investasi di sektor manufaktur anjlok pada angka 39,7% dan hanya tersisa 30,8% pada 2018.
Padahal, pada tahun lalu, pemerintah telah menerbitkan berbagai macam aturan untuk mengungkit kinerja investasi, mulai dari relaksasi perolehan libur pajak atau tax holiday hingga tax allowance.
Baca Juga
Untuk tahun ini, kendati masih sampai kuartal I/2019, kinerja investasi di sektor manufaktur juga belum mampu tumbuh cukup signifikan atau hanya 22,7%.
Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Adrianto menyebut, pelemahan kinerja investasi manufaktur ini memang menjadi perhatian serius pemerintah. Apalagi, selain dari investasi, sektor manufaktur relatif dominan dalam struktur produk domestik bruto (PDB).
“Ini membutuhkan kebijakan minimal jangka menengah untuk menarik investasi yang terkait dengan global value chain,” ungkap Adrianto kepada Bisnis, Minggu (5/5/2019).
Dalam catatan Bisnis, sebelum muncul gagasan kebijakan tersebut, skema baru pemberian libur pajak atau tax holiday sempat digadang-gadang pemerintah akan menjadi daya tarik para investor untuk berinvestasi di Indonesia khususnya di sektor padat karya. Bentuk insentif yang diberikan misalnya pengurangan PPh badan sampai dengan 100% selama 5 tahun–20 tahun.
Namun demikian, jika dilihat dalam struktur PDB, tren pertumbuhan manufaktur sejak awal 2000-an hanya 4%–5% atau di bawah pertumbuhan ekonomi. Selain itu, kontribusinya ke PDB juga terus mengalami penurunan. Jika pada 2004 mampu berkontribusi ke PDB sebesar 28,34%, pada 2018 angkanya jauh melorot atau pada angka 19,86%.
Adrianto menambahkan, sejumlah kementerian dan lembaga misalnya Kementerian Perdagangan dan Komite Ekonomi Industri Nasional (KEIN) khususnya untuk komoditas ekspor dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tengah bahu-membahu mencegah tren negatif kinerja investasi sektor manufaktur.
Dengan kerja sama lintas sektoral tersebut, otoritas fiskal berharap agar kebijakan nasional terkait dengan manufaktur bisa segera direalisasikan tahun ini supaya segera mampu menarik minat para investor.
“Untuk kebijakan spesifik saya belum mendapatkan informasinya lebih lanjut. Tetapi tentunya seperti industri manufaktur apa yang akan didorong, ini perlu menjadi perhatian,” ujarnya.