Bisnis.com, JAKARTA - Bisnis Indonesia hari ini, Kamis (2/5/2019) menggelar diskusi panel untuk menyibak masa depan sistem pengelolaan transportasi Jabodetabek.
Diskusi Panel
— Bisnis.com (@Bisniscom) May 2, 2019
Menyoal Masa Depan Sistem Pengelolaan Transportasi Jabodetabek https://t.co/rHXmRJWaYe
Permasalahan transportasi Jabodetabek telah menjadi isu nasional sejak beberapa tahun terakhir. Kemacetan lalulintas yang semakin parah merupakan indikasi yang paling nyata dari seriusnya permasalahan tersebut. Data dari Bappenas menunjukkan kerugian akibat kemacetan di Jakarta sekitar Rp67 triliun per tahun, tentunya nilai kerugian akan semakin membengkak apabila perhitungan dilakukan dalam skala yang lebih luas di lingkup Jabodetabek.
Sementara di sisi lain Jabodetabek menyumbang 60 % dari pergerakan ekonomi nasional, dengan demikian transportasi di jabodetabek yang menjadi urat nadi perekonomian apabila tidak dibenahi juga akan berdampak terhadap perekonomian secara nasional pula.
Nilai kerugian ekonomi itu bisa membesar jika memasukkan kota di sekitarnya seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Salah satu penyebab terjadinya kemacetan tersebut karena Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) terlambat membangun moda transportasi massal dan infrastruktur lainnya.
Kondisi itu diperparah dengan tidak terintegrasinya angkutan umum di Jabodetabek, karena masing-masing pemda membangun prasarana dan sarana transportasi serta Infrastruktur lainnya secara parsial.
Pada tahun 2010 Pemerintah telah melakukan studi yang menghasilkan rekomendasi perlunya pengelolaan transportasi di Jabodetabek ditangani oleh satu badan otoritas tersendiri selevel Menteri dan Kapolri.
Namun pada kenyataannya rekomendasi tidak dapat dilaksanakan secara penuh, pada tahun 2015 muncul Perpres No.103/2015 yang mengamanatkan pembentukan Badan Pengelola Transportasi Jabobetabek (BPTJ) sebagai institusi pengelola transportasi di Jabodetabek.
Berbeda dengan rekomendasi studi yang pernah dilakukan, BPTJ yang akhirnya berdiri ini bukan badan otoritas yang selevel menteri maupun Kapolri tetapi merupakan unit kerja setingkat eselon I di bawah Kementerian Perhubungan. Lebih dari itu BPTJ yang baru efektif terbentuk pada tahun 2016 ini juga memiliki kewenangan terbatas yaitu mengintegrasikan penyelenggaraan transportasi di Jabodetabek dengan mengkoordinasikan semua pemerintah daerah dan kelembagaan/instansi lain yang terkait di dalamnya.
Kalangan swasta menilai investasi sektor transportasi untuk wilayah Jabodetabek masih akan menarik meskipun pemerintah mewacanakan pemindahan Ibu Kota.
CEO Toll Road Business Group Astra Infra Kris Ade Sudiyono mengatakan dalam wacana pemindahan Ibu Kota, yang akan dipindahkan adalah pusat pemerintahan saja, sedangkan pusat bisnis masih akan berada di Jakarta.
“Belum tentu setelah Ibu Kota pindah, maka investasinya jadi tak menarik. Kita tunggu waktu saja, dan kita lihat dulu perkembangannya seperti apa,” katanya di sela-sela acara dikusi.
Dia menuturkan, ada banyak aspek yang menjadi pertimbangan pebisnis sebelum akhirnya memutuskan untuk berinvestasi. Menurutnya, sektor transportasi di Jakarta dan kota-kota sekitarnya masih membutuhkan pengembangan. Dengan demikian, investasi di sektor tersebut dianggap masih akan cukup menarik.
Hal senada juga diutarakan Direktur Utama Perum PPD Pande Putu Yasa yang menganggap bahwa investasi sektor transportasi di Jabodetabek masih sangat menjanjikan meski diprediksi akan ada penurunan pengguna transportasi publik akibat pemindahan Ibu kota.
Putu mengungkapkan bahwa saat ini permintaan untuk kebutuhan bus Transjakarta dan bus Transjabodetabek masih sangat tinggi. Padahal, dari total 2.000 bus Transjakarta yang beroperasi, ada sekitar 500 bus milik PPD. Selain itu, PPD juga memiliki sekitar 200 bus di Transjabodetabek.
Untuk memenuhi tingginya permintaan, rencananya perusahaan berpelat merah itu akan mendatangkan bus baru.
“Seperti dibilang Kepala BPJT, transportasi tidak mengenal wilayah, sepanjang pemangku kepentingan juga melihatnya seperti itu, maka saya rasa bisnis transportasi masih menguntungkan,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Badan Pengelola Transpostasi Jabodetabek (BPTJ) Bambang Prihartono mengatakan jika direalisasikan, maka upaya pemindahan Ibu Kota dianggap tidak akan terlalu berpengaruh terhadap penurunan kemacetan di Jakarta.
"Saya sudah menghitung misalnya pusat pemerintahan pindah dari Jakarta, kita hitung kira-kira mempunyai dampak pengurangan, berarti jumlah pegawai negeri pindah ke luar, itu kira-kira hanya 10%," katanya.
Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) mengungkapkan pemindahan ibu kota negara tidak akan berdampak signifikan terhadap kemacetan yang terjadi di wilayah Jabodetabek.
Kepala BPTJ, Bambang Prihartono mengatakan wacana pemindahan ibu kota bukan merupakan hal baru dan sudah diungkapkan oleh beberapa periode Presiden. Dia menilai yang menjadi faktor utama pemindahan tersebut karena daya dukung dari pulau Jawa khususnya wilayah Jabodetabek yang sudah mulai jenuh.
"Bicara ibukota itu bicara daya dukung, daya dukung Jawa khususnya di Jabodetabek ini sudah mulai jenuh. Oleh karena itu, pemerintah perlu mencari solusi-solusinya," ungkapnya.
Dia menjelaskan pemindahan ibu kota ini sangat berkaitan dengan transportasi massa di wilayah Jabodetabek, sebab salah satu alasan pemindahan tersebut karena wilayah Jabodetabek yang sudah terlalu penuh.
Menurutnya, pemindahan ibu kota ini tidak akan berdampak signifikan terhadap kepadatan dan kemacetan di wilayah Jabodetabek.
"Saya sudah menghitung misalnya pusat pemerintahan pindah dari Jakarta, kita hitung kira-kira mempunyai dampak pengurangan, berarti jumlah pegawai negeri pindah ke luar, itu kira-kira hanya 10%," katanya.
Pergerakan orang di Jabodetabek terangnya mencapai 60 juta orang perhari, dengan pengurangan 10% populasi ASN tersebut artinya tetap masih ada pergerakan 54 juta orang.
"Artinya pengurangan kemacetan tidak cukup signifikan, permasalahan transportasi di Jabodetabek masih menjadi hal yang utama, prioritas. Oleh karena itu, ibu kota dipindahkan transportasi masalahnya selesai itu tidak demikian," terangnya.
Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) menyuarakan agar perapihan sistem transportasi di Jabodetabek tidak meminggirkan kebutuhan angkutan logistik.
Ketua Umum Aptrindo Gemilang Tarigan mengatakan, transportasi logistik kerap dipinggirkan terkait kebijakan transportasi. Padahal, kebijakan tersebut harus berjalan beriringan baik angkutan orang maupun barang.
“Kebijakan terhadap transportasi di jalan jangan selalu mengorbankan transportasi logistik,” tuturnya di sela diskusi.
Selain itu, pemerintah kerap terlambat dalam menangani persoalan infrastruktur. Sebagai contoh, sejak 7 tahun lalu Aptrindo mengingatkan integrasi Tol Cikampek dan JORR akan membuat crowded area Cikunir. Namun demikian, penangannnya permasalahan kemacetan seolah menunggu masalahnya muncul terlebih dahulu.
Menurutnya, truk menunjang sistem logistik kebutuhan ekspor, sehingga berimbas kepada perekonomian. Pertumbuhan angkutan logistik truk meningkat stabil 5%-10% per tahun.
“Sistem trucking juga menjadi indikator investasi. Kalau trucking lancar, ini tentunya menarik minat investor, terutama yang berorientasi ekspor untuk menanamkan modal di Indonesia,” paparnya.
Gemilang juga menyarankan adanya pemberlakuan sistem Electronic Road Pricing (ERP) atau sistem jalan berbayar di jalan utama Jakarta. Tujuannya ialah mengurangi arus kendaraan bermotor di pusat kota.
Pembayaran tersebut merupakan denda kongesti, atau sanksi akibat mobil yang lewat karena menyebabkan kemacetan. Dana denda dapat dikumpulkan dan diolah sebagai salah satu alternatif pendanaan proyek infrastruktur.
“Sistem ERP ini sudah berjalan di Eropa, sudah ada contoh kasusnya. Bisa kita contoh untuk mengurangi kemacetan,” imbuhnya.
Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) mewacanakan selain mengurangi kemacetan, pemerintah akan menurunkan emisi gas buang karbon dioksida (CO2) dengan penggunaan kendaraan listrik khusus di ruas-ruas jalan tertentu.
Kepala BPTJ, Bambang Prihartono mengungkapkan sudah ada beberapa perusahaan swasta yang mengajukan penggunaan kendaraan listrik guna angkutan umum.
"Mobil listrik saat ini bukan hanya kemacetan lagi tapi penurunan CO2, Tidak apa-apa mobil boleh lewat dan motor tapi harus listrik, ini bisa dikawasan Sudirman--Thamrin," katanya.
Dia mengungkapkan penggunaan kendaraan listrik dapat menjadi solusi bagi dua hal, yakni kemacetan dan lingkungan.
Dia mengatakan rencana tersebut dapat dilaksanakan sejalan dengan rencana penerapan electronic road pricing (ERP) di ruas jalan protokol di Jakarta.
Selain itu, dia juga menyebutkan saat ini penggunaan kendaraan listrik untuk angkutan umum tengah dalam proses koordinasi dengan berbagai pihak.
"Kita sekarang ada perusahaan-perusahaan sudah meminta izin penggunaan mobil listrik, seperti blue bird, perum PPD dan perum Damri, barang baru prosesnya masih rapat koordinasi dengan yang lain seperti Dishub dan Kepolisian," ungkapnya.
Perum Perusahaan Pengangkutan Djakarta (PPD) meminta agar investasi angkutan kota di wilayah Jabodetabek agar dapat dibuat satu pintu melalui Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ).
Direktur Utama Perum PPD Pande Putu Yasa menilai sebagai perusahaan BUMN dia juga merasa agak sulit berinvestasi di sektor angkutan umum karena adanya ego sektoral dari Pemerintah Daerah (Pemda).
"Investasi di angkutan kota, ini jadi harus dijadikan kebijakan satu pintu BPTJ. Kita minta rekomedasi pengeluaran trayek masih berbelit-belit, perizinan satu pintu diperlukan dan ego sentrisnya wilayah perlu dihilangkan," katanya.
Dia mengungkapkan selama ini investasi di transportasi umum selalu menguntungkan, baik terlibat dalam Trans Jakarta, bus premium dan bus bandara.
Dia menegaskan dari total berkisar 2.000 bus Trans Jakarta terdapat 500 bus milik PPD. Selain itu, ada 200 bus di transjabodetabek.
"Ini demand terus tambah tiap bulan, sekarang kami kekurangan bus, 703 bus itu ada 50 bus angkutan jadi premium, 50 bus bandara baru," ujarnya.
Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) saat ini tengah berfokus membentuk integrasi tiket antar moda transportasi umum di wilayah Jabodetabek.
Kepala BPTJ, Bambang Prihartono, mengungkapkan saat ini pihaknya tengah berfokus melakukan integrasi tiket dan infrastruktur transportasi di Jabodetabek.
Pihaknya sudah bekerja sama dengan Bank Indonesia agar sistem pembayaran dapat dibuat open loop atau terbuka satu kartu bisa digunakan dalam berbagai moda transportasi.
"Infrastruktur masih dibangun, memang luar biasa, jadi macetnya luar biasa, kita sedang bangun. Pekerjaan rumah berikutnya sistem ticketing, jadi kita ke depan open loop, Perum PPD dan PT KCI, baru diluncurka," katanya.
Dengan satu kartu katanya, digunakan untuk berbagai moda transportasi. Dia akan memulai dari BUMN seperti PT KCI, Perum Damri, Perum PPD. Di daerah pun, Pemprov DKI melakukan integrasi melalui Jaklinggo.
"Integrasi berikutnya secara tarif, nanti perzona, ada zona 1, 2 dan 3, nanti itu kita transportasi punya kpi, apa itu, point to point tidak boleh 30 menit, dengan Trans Jakarta masih 34 menit, kondisi kita sudah emergency butuh cepat," terangnya.
Dia mengungkapkan tenggat waktu integrasi ini sudah melalui batasnya pada Desember 2018 lalu dan akan diselesaikan pada Mei 2019 kali ini.
Wakil Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo menuturkan kondisi saat ini dalam transportasi di Jabodetabek sudah cukup mengkhawatirkan.
Saat ini katanya, jumlah penduduk Jakarta pada 2014 sebanyak 10,8 juta orang dan terdapat 66 juta perjalanan , di mana 27% atau 17,8 juta menggunakan angkutan umum.
Dalam memenuhi mobilitas warga Jakarta , didukung Infrastrukturjalan sepanjang 6.866 km (2010), empat tahun kemudian (2014) bertambah menjadi 6.955 km.
"Pertumbuhan jumlah kendaraan dalam lima tahun terakir rata-tata 9,93 % per tahun. Sepeda motor menjadi kontributor pertumbuhan tertinggi populasi kendaraan di Jakarta , yaltu 10,54%, disusul mobil penumpang 8,75%, mobil barang 4,46 %, sementera untuk kendaraan Bus hanya tumbuh 2.13 %," tuturnya.
Dia menilai perlu ada langkah-langkah untuk menjadikan mobilitas warga Jakarta menjadi lebih eflsien, baik dari segi biaya maupun waktu tempuh dan mendukung kelestarian Iingkungan hidup, dengan menjadikan angkutan umum massal berbasis rel sebagai tulang punggung.
"40% mobilitas warga menggunakan angkutan umum pada 2019, 60% mobilitas warga menggunakan angkutan umum pada 2030," katanya.
CEO Toll Road Business Group Astra Infra Kris Ade Sudiyono menyatakan dibutuhkan adanya kebijakan dan leadership yang baik jika pemerintah ingin melibatkan swasta dalam program pengembangan transportasi di wilayah Jabodetabek.
Kris menuturkan keterlibatan swasta dibutuhkan, karena keterbatasan anggaran pemerintah. Namun, ada poin-poin penting yang harus diperhatikan pemerintah sebelum melibatkan swasta.
Poin-poin penting yang dimaksud antara lain adalah pernyataan otoritatif dari pemerintah, tata kelola yang baik, dan model bisnis yang jelas.
“Harus ada penegasan di awal yang disebut keputusan politik pemerintah. Tanpa adanya itu, maka swasta akan enggan untuk masuk, karena namanya swasta pasti bicaranya soal bisnis,” ujarnya.
Pada kesempatan tersebutu, Kris juga mendorong otoritas yang mewakili pemerintah dan menjadi penanggungjawab proyek juga harus siap pasang badan jika sewaktu-waktu proyek yang diusulkan atau dijalankan mendapatkan reaksi penolakan dari publik maupun pemerintah daerah.
Dengan demikian, swasta akan lebih merasa aman untuk ikut terlibat dalam proyek pembangunan yang digagas pemerintah.
Kompleksitas pengelolaan transportasi di wilayah Jabodetabek dinilai tidak lagi dapat diselesaikan hanya dalam level aturan peraturan presiden (Perpres) seperti pembentukan Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) dan Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ).
Pengamat/Ahli Hukum Tata Negara Ahmad Redi menyampaikan, otoritas BPTJ yang mengatur pengelolaan transportasi di Jabodetabek sangat terbatas. Oleh karenanya, diperlukan landasan hukum yang lebih tinggi dari sekedar Perpres, yaitu peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu).
“Masalah trasnportasi Jabodetabek sifatnya genting dan serius, sehingga perlu pembenahan serius. Makanya pemerintah bisa membuat Perppu yang memperkuat regulasi BPTJ,” paparnya.
Menurutnya, pemerintah dapat mempertimbangkan membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang menjadi omnibus law transportasl Jabodetabek.
Masalah transportasi Jabodetabek menjadi masalah yang genting karena menyangkut dampak besar pada perekonomian nasional, lingkungan hidup, kesehatan, ketentraman masyarakat. Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), kerugian akibat kemacetan di ibu kota mencapai Rp67 triliun per tahun.
Dia menilai otoritas BPTJ harus ditingkatkan dari sekedar pejabat setingkat eselon I menjadi lembaga pemerintahan non kementerian (LPNK) yangbnerkedudukan di bawah Presiden, dan bertanggung Jawab kepada Presiden melalui menteri yang mengoordinasikan seperti Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Batam.
Untuk mendorong pengelolaan transportasi Jabodetabek, Pengamat/Ahli Hukum Tata Negara Ahmad Redi menyampaikan, ada tiga hal yang perlu dilakukan terkait dengan BPTJ.
Pertama, BPTJ secara kelembagaan sebaiknya dibentuk menjadi Lembaga pemerintahan non kementerian (LPNK) yang nerkedudukan di bawah Presiden, dan bertanggung Jawab kepada Presiden melalui menteri yang mengoordinasikan.
Kedua, Rencana Induk Transportasi Jabodetabek direvisi dengan memberikan kewenangan kepada BPTJ yang lebih luas. Pasalnya, saat ini regulasi yang ada hanya mengatur fungsi BPJT sebagai tugas koordinasi.
Ketiga, pemerintah dapat mempertimbangkan membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang menjadi omnibus law transportasl Jabodetabek. Masalah transportasi Jabodetabek menjadi masalah yang genting karena menyangkut dampak besar pada perekonomian nasional, lingkungan hidup, kesehatan, ketentraman masyarakat.
“Masalah trasnportasi Jabodetabek sifatnya genting dan serius, sehingga perlu pembenahan serius. Makanya pemerintah bisa membuat Perppu yang memperkuat regulasi BPTJ,” paparnya.
Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Bambang Prihartono mengatakan pihaknya memiliki target yang ambisius untuk pengembangan dan penataan transportasi di wilayah Jabodetabek dalam kurun 10 tahun ke depan.
Bambang mengungkapkan BPTJ telah memiliki rencana induk sebagai pedoman untuk pengembangan dan penataan transportasi di wilayah Jabodetabek. Rencana induk tersebut mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) No.55/2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ).
“Kami tengah mengatur strategi untuk mengeksekusi rencana induk yang ada. Rencana induk ini memang ambisius,” ujarnya.
Dikatakan ambisius, karena Bambang menyatakan bahwa BPTJ program pengembangan akan dijalankan hanya dalam kurun 10 tahun.
Waktu pelaksanaan tersebut jauh lebih singkat jika dibandingkan waktu yang dibutuhkan Tokyo, yaitu selama 50 tahun, dan New York selama 70 tahun.
“Dengan masterplan yang ambisius ini SDM-nya harus luar bisa, karena tantangannya adalah bagaimana mensinergikan 5 kota besar di Jabodetabek,” ungkapnya.
Bambang berharap dalam diskusi panel kali ini, pihaknya bisa mendapat masukan dari para pakar untuk menjadi pertimbangan dalam upaya pengembangan dan penataan transportasi di wilayah Jabodetabek.
Bambang Prihartono mengungkapkan urgensi pembenahan transportasi di Jabodetabek sudah sangat tinggi.
Presiden Joko Widodo juga sudah melaksanakan rapat terbatas (ratas) hingga tiga kali membahas transportasi di Jabodetabek dengan rapat terakhir mengenai keputusan pemindahan ibu kota dari Jakarta karena alasan yang sama.
"Kita concern masalah yang sama, Presiden juga sudah dua kali ratas, tiga kali dengan pemindahan ibu kota karena masalah yang sama [kepadatan di Jabodetabek]," katanya.
Pengamat/Ahli Hukum Tata Negara Ahmad Redi menyampaikan, regulasi transportasi di Indonesia sudah cukup lengkap. Bahkan, Jabodetabek memiliki payung hukum sendiri dalam Perpres no.103 tahun 2015 dan Perpres no.55 tahun 2018.
Namun demikian, implementasinya sulit dilakukan karena koordinasi antar wilayah masih sulit dilakukan. Karena itu, untuk menyatukan 11 kabupaten yang masuk ke dalam Jabodetabek, dibutuhkan lembaga coordinator yang powerfull seperti BPTJ.
Dari Kiri: CEO Toll Road Business Group Astra Kris Adi Sudiyono, Wakil Ketua Pengurus Harian YLKI Sudaryatmo, Pengamat/Ahli Hukum Tata Negara Ahmad Redi, bersama moderator diskusi Redaktur Pelaksana Bisnis Indonesia Maria Benyamin
Chamdan Purwoko , Wakil Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia, menilai masalah transportasi di wilayah Jabodetabek tidak hanya harus tersedia secara terjangkau dari sisi biaya tetapi perlu ada konektivitas.
"Data BPTJ [Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek], ada 50 juta pergerakan orang di Jabodetabek, di internal Jakarta, ini yang harus diatur dan pentingnya ada transportasi umum. Tugas BPTJ pindahkan orang transportasi pribadi ke umum, ada faktor lain selain hitung-hitungan lebih murah pakai umum, yakni konektivitas," katanya.
Selain itu, dia juga menyampaikan urgensi pembenahan transportasi Jabodetabek tersebut mengingat data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), kerugian kemacetan mencapai Rp67 triliun per tahun. Sementara wilayah Jabodetabek berkontribusi terhadap ekonomi nasional mencapai 60%.
"Kalau ekonomi mandeg ini bahaya, kemacetan tidak diurai akan berdampak terhadap ekonomi nasional," katanya.
Dari kiri: Pengamat/Ahli Hukum Tata Negara Ahmad Redi, Wakil Ketua Pengurus Harian YLKI Sudaryatmo, Wakil Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia Chamdan Purwoko, Kepala Badan Pengelola BPTJ Bambang Prihartono, CEO Toll Road Business Group Astra Kris Adi Sudiyono berfoto bersama jelang diskusi panel Menyoal Masa Depan SistemTransportasi Jabodetabek
Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Bambang Prihartono memberikan key not speech dalam diskusi panel Menyoal Masa Depan SistemTransportasi Jabodetabek, yang diselenggarakan Bisnis Indonesia di Hotel Syahid, Jakarta, Kamis (2/5/2019).
Dia bercerita sulitnya menghadapi kemacetan dari wilayah Jakarta dan kota-kota di sekitarnya.
Para narasumber diharapkan dapat menyampaikan materi yang dapat memberikan pemahaman kepada publik tentang opsi yang paling relevan yaitu pembentukan otoritas transportasi Jabodetabek di bawah Presiden langsung. Diskusi panel dilaksanakan di Ruang Candi Singosari, Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta Pusat, pada Kamis (2/5/2019).
Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Bambang Prihartono, akan bertindak sebagai pembicara utama dengan menyampaikan materi mengenai permasalahan transportasi di Jabodetabek, latar belakang pendirian BPTJ, langkah-langkah kongkret yang telah dilakukan BPTJ selama ini, serta permasalahan-permasalahan yang dihadap dalam melaksnakan tugas dan fungsinya serta gambaran yang lebih ideal guna mewujudkan percepatan pembenahan transportasi Jabodetabek.
Melalui Rapat Terbatas (Ratas) Presiden memerintahkan perlunya penanganan transportasi di Jabodetabek ditinjau kembali. Hal-hal yang melandasi karena proses pembenahan transportasi di Jabodetabek saat ini dinilai terlalu lamban dan seringkali terkondisi pada situasi klaim kewenangan yang menyebabkan keputusan menjadi rumit dan lama.
Ratas untuk kedua kalinya diselenggarakan pada 19/3/2019. Meskipun demikian, Ratas ini belum juga dapat memutuskan langkah kongkret menyangkut kelembagaan dan kewenangan baru untuk pengelolaan transportasi Jabodetabek yang lebih baik.
Wacana yang beredar sebagaimana muncul dalam berbagai pemberitaan di media mengerucut pada 2 hal yaitu, pertama, memberikan kewenangan kepada Pemerintah Propinsi DKI Jakarta sebagai instansi yang mengatur pembenahan dan pengelolaan transportasi dalam lingkup Jabodetabek.
Kedua perlunya entitas baru yang memiliki kewenangan yang lebih kuat (daripada BPTJ sekarang) sebagai lembaga yang melakukan pembenahan dan pengelolaan transportasi Jabodetabek agar lebih baik.
Dilatarbelakangi hal tersebut, Bisnis Indonesia menyelenggarakan diskusi panel dengan narasumber sebagai berikut.
Panelis I
Deputi I Kantor Staf Presiden (KSP) Bidang Pengelolaan dan Pengendalian Program Prioritas Nasional, Darmawan Prasodjo. Dia akan mengupas mengenai bentuk entitas/kelembagaan yang efektif menunjang percepatan pembenahan pengelolaan transportasi Jabodetabek.
Panelis II
Pengamat/Ahli Hukum Tata Negara, Ahmad Redi, yang akan mengupas dari Tinjauan Aspek Hukum (ketatanegaraan) guna Mendukung Pembentukan Kelembagaan/Entitas Baru Pengelola Transportasi Jabodetabek yang lebih efektif.
Panelis III
Kadin/Investor di Bidang Infrastruktur yang diwakili oleh CEO Toll Road Business Group Astra, Kris Adi Sudiyono membahas mengenai Peluang Swasta Untuk Berinvestasi dalam Pembangunan Infrastruktur Transportasi di Jabodetabek sebagaimana tertuang dalam Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ).
Panelis IV
Wakil Ketua Pengurus Harian, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sudaryatmo yang meninjau dari sisi Pembenahan Pengelolaan Transportasi Jabodetabek Yang Efektif dari Sudut Pandang Konsumen.