Bisnis.com, JAKARTA - Indeks konektivitas nasional membaik setelah program Tol Laut berjalan, tetapi belum maksimal karena biaya logistik masih relatif tinggi.
Berdasarkan analisis yang dilakukan pakar maritim Institut Teknik Sepuluh November (ITS) Surabaya, Saut Gurning, indeks konektivitas di kawasan timur Indonesia naik tipis menjadi 0,45 sepanjang 2016-2018, dari posisi 0,35 selama 2013-2014.
Pada 42 pelabuhan hub utama (main hub port), indeks konektivitas sepanjang 2016-2018 berada pada rentang 0,4-0,5, lebih tinggi dari indeks selama 2013-2014 yang hanya 0,3-0,35.
Bank Pembangunan Asia (ADB) merekomendasikan angkutan laut domestik yang berada pada kategori indeks konektivitas (IK) lebih dari atau sama dengan 0,75 mengindikasikan aksesibilitas yang baik; 0,5 hingga kurang dari 0,75 mengindikasikan aksesibilitas cukup baik; 0,3 hingga kurang dari 0,5 menunjukkan aksesibilitas normal; dan 0,2 hingga kurang dari 0,3 mengindikasikan aksesibilitas rendah; dan kurang dari 0,2 mencerminkan kondisi terisolasi.
IK yang baik menunjukkan interaksi angkutan laut, dalam arti jumlah kapal, kapasitas, kuantitas kargo, dan perusahaan pelayaran yang terlibat, cukup baik. IK yang baik juga mencerminkan biaya, waktu, termasuk biaya logistik serta manfaat, lebih efisien.
"IK domestik yang relatif rendah, di bawah 0,5, menjadi indikasi masih rendahnya usaha dan aksesibilitas," kata Saut kepada Bisnis, pekan lalu.
Berikut ini perbandingan level konektivitas sebelum dan sesudah program Tol Laut:
Sebelum (2013-2014)
Level konektivitas: rata-rata di Indonesia timur (560 rute pelayaran swasta, PSO, feri perintis, dan perintis sekitar 0,35. Di 42 pelabuhan hub utama (MHP) berkisar 0,3-0,35.
Aksesibilitas skala waktu dan biaya per unit barang: rata-rata 3-3,5 di Indonesia timur dan 4,1 di 42 MHP.
Lama berlayar (shipping performance): rata-rata 4-5 minggu; rute terpanjang 1.740 mil; sebagian besar layanan tramper (tidak terjadwal); kapasitas angkut 50-75 TEUs; cargo handling di pelabuhan 5-6 hari; muatan balik kurang dari 5%.
Operator: sebagian besar operator lokal dukungan layanan stevedoring dan forwarding yang kurang.
Layanan pergudangan: tidak ada layanan pergudangan atau distribusi; ditangani oleh entitas berbeda dan fasilitas pelabuhan yang kurang memadai.
Biaya angkutan laut dan harga komoditas: biaya angkutan laut berkontribusi 20%-25% terhadap harga komoditas, sedangkan biaya transporatasi darat menyumbang 50%-51% terhadap harga komoditas
Sesudah (2016-2018)
Level konektivitas: rata-rata di Indonesia timur 0,4"5. Di 42 pelabuhan hub utama (MHP) berkisar 0,4-0,5.
Aksesibilitas skala waktu dan biaya per unit barang: Sedikit meningkat di Indonesia timur dan sekitar 4,8 di 42 MHP.
Lama berlayar (shipping performance): End to end rata-rata lebih cepat, sekitar 2-3 minggu; rute lebih panjang, yakni 3.030 mil; lebih banyak layanan liner (terjadwal); kapasitas angkut 100-200 TEUs; handling cargo 2-3 hari di pelabuhan; dan muatan balik berkisar 10%-15%.
Operator: cenderung perusahaan pelayaran swasta dengan kapasitas layanan stevedoring dan forwarding.
Layanan pergudangan: Pergudangan baru di pelabuhan, termasuk pusat distribusi baru/peritel sebagai paket layanan dengan layanan angkutan laut dan transportasi darat.
Biaya angkutan laut dan harga komoditas: biaya angkutan laut berkontribusi 15%-19% terhadap harga komoditas, dengan sumbangan biaya transporatasi darat lebih rendah, yakni 30%-35% terhadap harga komoditas. Rerata, harga komoditas turun 10%-20%.
Sumber: Analisis ITS, 2018