Bisnis.com, JAKARTA--Penurunan kinerja ekspor industri pengolahan yang dibarengi merosotnya nilai impor bahan baku/penolong dinilai tidak mencerminkan kegiatan sektor manufaktur yang melemah.
Pada Februari 2019, ekspor industri pengolahan tercatat senilai US$9,41 miliar atau turun 8,06% dari periode yang sama tahun lalu senilai US$10,24 miliar. Secara kumulatif, ekspor sektor ini turun 5,96% menjadi US$19,61 miliar.
Sementara itu, impor bahan baku/golongan di saat yang sama turun 7,60% dari US$22,10 miliar menjadi US$20,42 miliar secara kumulatif.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto mengatakan hal tersebut tidak mengarah ke pelemahan kinerja sektor industri pengolahan. Dia menjelaskan penurunan ekspor industri pengolahan dipengaruhi oleh produk minyak kelapa sawit.
"Secara produksi bagus, volumenya meningkat, tetapi secara nilai turun karena harganya turun," ujarnya di Jakarta, Jumat (15/3/2019).
Selain itu, penurunan beberapa komoditas ekspor andalan, seperti alas kaki yang mayoritas dikirim ke Amerika Serikat, juga lebih dipengaruhi oleh faktor pola musiman. Nilai ekspor sepatu pada Januari--Februari tahun ini tercatat US$800,6 juta atau turun 4,89% dari US$ 841,7 juta secara tahunan.
Ekspor pakaian jadi bukan rajutan, barang rajutan ke Negara Paman Sam juga disebutkan Suhariyanto mengalami penurunan sepanjang Februari 2019. "Mendekati musim dingin, permintaan akan meningkat lagi. Jadi, penurunan ekspor dan impor bahan baku ini tidak ada hubungannya dengan deindustrialisasi," tegasnya.
Budiarto Tjandra, Ketua Pengembangan Sport Shoes & Hubungan Luar Negeri Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), menuturkan secara siklus, puncak permintaan ekspor sepanjang tahun biasanya terjadi pada kuartal akhir. Pola ini telah terjadi sejak lama dan pertumbuhan pada kuartal IV bisa lebih dari 10%.
Dia meyakini ekspor alas kaki dua tahun ke depan bakal tumbuh kuat dengan pendirian beberapa pabrik baru di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Sepanjang tahun lalu, ekspor alas kaki nasional juga mengalami peningkatan 4,13% y-o-y dari senilai US$4,91 miliar menjadi US$5,11 miliar pada 2018.
Sepanjang tahun lalu, ekspor produk industri tercatat senilai US$130,09 miliar atau naik 3,98% dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya mencapai US$125,10 miliar. Ekspor produk industri ini memberikan kontribusi hingga 72,19% dari total ekspor nasional pada 2018 yang senilai US$180,21 miliar.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menyebutkan terdapat beberapa sektor yang memungkinkan dipacu secara agresif, dari sektor industri agro misalnya, ada industri furnitur yang didukung sumber bahan baku kayu di Indonesia yang sangat besar.
Di sektor kimia, farmasi, dan tekstil ada beberapa sektor yang nilai ekspornya dapat dipacu secara agresif, yakni industri karet. Pada sektor industri logam, mesin alat transportasi dan elektronika, terjadi peningkatan ekspor yang sangat besar ada pada sektor baja.
Hal tersebut dipacu dengan berproduksinya beberapa pabrik pengolahan (smelter) baja yang baru seperti di Morowali, Sulawesi Tengah. Total kapasitas produksi smelter nickel pig iron sebesar 2 juta ton per tahun dan 3,5 juta ton stainless steel per tahun, dengan nilai ekspor mencapai US$2 miliar pada 2017 dan naik menjadi US$3,5 miliar.
Namun, untuk memacu ekspor baja, Kemenperin perlu berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan terkait dengan peningkatan ekspor baja tersebut, karena saat ini untuk ekspor ke Amerika Serikat dikenakan bea masuk sebesar 25%. China juga sedang memulai investigasi anti-dumping untuk impor baja nirkarat (stainless steel).
Hal itu dilakukan setelah Kementerian Perdagangan China menerima keluhan bahwa impor stainless steel merugikan industri lokal Negeri Tirai Bambu. “Jadi kedua negara itu melakukan kebijakan proteksi karena produk baja Indonesia masuk dalam jumlah besar,” tuturnya.
Airlangga menambahkan, lima besar negara yang menjadi tujuan ekspor Indonesia adalah Amerika Serikat, China, Jepang, India dan Singapura. “Tujuan ekspor kita saat ini utamanya ke pasar-pasar tradisional. Untuk meningkatkan nilai ekspor, kami mendorong lima sektor yang prioritas di program Making Indonesia 4.0,” kata Airlangga.