Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pungutan Ekspor CPO Ditunda, Bagaimana Nasib Replanting Sawit?

Penundaan pungutan ekspor crude palm oil beserta produk turunannya, mengancam program peremajaan perkebunan kelapa sawit.

Bisnis.com,  JAKARTA — Penundaan pungutan ekspor crude palm oil beserta produk turunannya, mengancam program peremajaan perkebunan kelapa sawit.

Penundaan pungutan ekspor sawit menjadi topik headline koran cetak bisnis Indonesia edisi Sabtu (2/3/2019). Berikut laporannya.

Pasalnya, pungutan yang diambil dan dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) itu salah satunya dimanfaatkan untuk program peremajaan perkebunan kelapa sawit (replanting).

Saat ini, ekspor minyak sawit mentah/crude palm oil (CPO) beserta produk turunannya masih dikenakan pungutan senilai US$0/ton, karena harga komoditas tersebut belum stabil dengan tren harga yang cenderung menurun.

Terkait dengan hal itu, Kementerian Perdagangan menerbitkan harga referensi ekspor CPO dan produk turunannya yang berlaku mulai 1 Maret 2019 senilai US$ 595,98/ton. Angka ini didapatkan dari rerata pergerakan harga CPO sepanjang 20 Januari—19 Februari.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 152/2018 tentang Perubahan Atas PMK No. 81/2018 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum (BLU) BPDPKS pada Kementerian Keuangan, pungutan ekspor CPO baru bisa dikenakan jika harga menyentuh US$570/ton.

Harga referensi di atas sudah termasuk dalam rentang yang bisa dikenakan pungutan ekspor. Namun, untuk saat ini Komite Pengarah BPDPKS memutuskan untuk tidak mengenakan pungutan ekspor sampai muncul ketentuan baru.

Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga meminta pemerintah dan BPDPKS menghitung dampak dari penundaan pungutan ekspor CPO. Menurutnya, hal itu akan menggerus kas BPDPKS untuk program peremajaan (replanting).

“Harus dipertimbangkan juga dana untuk peremajaan, karena kita harus cepat menerapkan kebijakan itu, supaya menjadi bukti kepada Uni Eropa, bahwa sawit kita ditanam secara berkelanjutan,” tegasnya, Jumat (1/3/2019).

Bagaimanapun, dia mendukung upaya pemerintah menunda pengenaan pungutan ekspor, kendati harga CPO sepanjang Februari sempat menembus US$570/ ton. Dia mengatakan, kebijakan pemerintah tersebut tidak akan terlalu menganggu ekspor produk minyak kelapa sawit di hilir.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Rino Afrino meminta pemerintah menghitung dampak dari ditundanya pungutan ekspor CPO. Pasalnya, para petani swadaya sangat menggantungkan dana dari BPDPKS untuk replanting.

“Kami harap kebijakan itu tidak hanya dihitung dari potensi hilangnya beban subsidi untuk biodiesel yang hilang, karena harga minyak mentah sedang turun. Tetapi juga dihitung kewajiban pembiayaan untuk petani swadaya untuk meremajakan perkebunannya.”

Di sisi lain, Direktur BPDPKS Dono Boestami menjelaskan, program pembiayaan untuk peremajaan sawit tidak akan terganggu kendati pengenaan pungutan ekspor ditunda.

Pasalnya, dia mengklaim dana yang ada di BPDPKS masih cukup untuk melakukan peremajaan. Bisnis mencatat, sepanjang 2017, BPDPKS berhasil menghimpun dana sebesar Rp14,2 triliun.

Namun demikian, dia menyatakan tidak dapat menyebutkan berapa besaran dana dari pungutan ekspor yang dikelola BPDPKS saat ini. Alasannya, data tersebut dapat dijadikan senjata oleh negara lain, untuk menciptakan kampanye negatif kelapa sawit.

“Intinya dana yang ada saat ini lebih dari cukup untuk peremajaan. Kalau pun jelek-jeleknya dananya kurang, masih bisa dicarikan dari sumber pendanaan lain. Kementerian Pertanian dalam hal ini Direktorat Jenderal Perkebunan yang bertanggung jawab akan kondisi itu.”

Senada, Menteri Koordinator Pereko­nomian Darmin Nasution memastikan, penundaan pungutan ekspor CPO tidak akan menganggu program peremajaan sawit nasional. “Sudah kami cek ke BPDPKS, duit mereka masih banyak. Jadi tidak masalah kalau pungutan ekspor ditunda,” ujarnya.

PROGRAM PEREMAJAAN

Sementara itu, Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Kasdi Subagyono optimistis pada tahun ini dapat meremajakan kebun sawit rakyat seluas 200.000 hektare. Kendati realisasi tahun-tahun sebelumnya realisasi peremajaan tidak sesuai target.

“Tentu saja optimistis bisa tercapai. Pasalnya kendala utama itu kan soal administratif. Dan itu sudah kami coba selesaikan di tingkat lapangan,” katanya.

Adapun dana yang diperlukan untuk peremajaan kebun sawit mencapai Rp5 miliar. Menurut Kasdi, masih ada dana yang mengendap karena tahun-tahun sebelumnya target replanting banyak yang tidak terealisasi.

Kasdi mengungkapkan sedang ada wacana untuk meningkatkan dana tambahan untuk peremajaan lebih dari Rp25 juta/ha. Namun, hal itu masih belum diputuskan.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara sependapat dengan keputusan pemerintah yang menunda pengenaan pungutan ekspor CPO mulai Maret tahun ini.

“Keputusan menunda pungutan sawit sudah tepat sebagai insentif agar kinerja ekspor meningkat. Kalau perlu 1—2 tahun ini, pungutan tetap di-nol-kan mengingat pasar CPO masih mengalami oversupply dan lemahnya permintaan akibat perang dagang Amerika-China,” ujarnya.

Bhima pun menilai bahwa kebijakan yang diambil itu lebih sebagai kebijakan darurat karena ekspor CPO saat ini masih cukup dominan dan diharapkan jadi penolong kinerja ekspor nonmigas.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper