Bisnis.com, JAKARTA – Peraturan Menteri Perhubungan PM No. 118/2018 tentang angkutan sewa khusus (ASK) atau taksi online dinilai hanya bersifat sementara.
Fungsi beleid tersebut hanya untuk mengisi kekosongan hukum saja, sehingga dibutuhkan aturan yang lebih tinggi berupa Undang-Undang (UU).
Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun menuturkan, fenomena taksi online muncul di atas tahun 2014. Sementara UU No. 22 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dibuat pada 2009 sehingga fenomena taksi online belum terekam dalam aturan UU.
"Jadi kalau ada kekosongan hukum yang terkait kementerian bersangkutan, maka tidak haram hukumnya kementerian tersebut membuat aturan, karena aturan dibuat atas peraturan lebih tinggi atau berdasarkan kewenangan. Kalau berdasarkan kewenangan maka sah," terangnya dalam sosialisasi PM No.118/2018 tentang Angkutan Sewa Khusus (ASK) di Jakarta, Selasa (26/2/2019).
Namun, lanjutnya, apabila melihat lebih jauh dari sisi kewenangan, Kemenhub hanya bisa mengatur isu berkaitan dengan fenomena lalu lintas jalan saja. Sementara itu, mengenai hubungan ketenagakerjaan antara aplikator dan pengemudi bukan Kemenhub.
"Online-nya [penyedia aplikasi dan mitra] bukan Kemenhub, ini interministry. Kalau itu Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Kementerian Tenaga Kerja," terangnya.
Baca Juga
Dengan demikian, menurutnya, keberadaan PM 118 ini harusnya hanya bersifat sementara sampai dengan ada aturan yang lebih tinggi mengatur terkait Taksi Online ini.
"Harusnya ada UU, karena ini fenomena sudah sejak 2014, tapi DPR telat sekali meresponnya. Makanya ini diambil oleh regulator dalam hal ini Kemenhub," jelasnya.
Dengan demikian, dia berharap ke depan ada aturan yang bisa memfasilitasi kebutuhan lintas sektoral supaya seluruh kebutuhan dalam angkutan sewa khusus dapat terakomodir secara komprehensif.