Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Pariwisata tengah mengkaji besaran ideal pajak pertambahan nilai yang dikenakan terhadap homestay.
Ketua Tim Percepatan Homestay Kementerian Pariwisata Anneke Prasyanti mengatakan selama ini para pelaku usaha homestay dikenakan besaran pajak PPN yang sama seperti hotel sebesar 10%.
Padahal antara homestay dan hotel sangat berbeda baik dari segi fasilitas, sumber daya manusia, dan manajemennya.
Dia mengusulkan pajak homestay dikenakan sebesar 1% dari omzet. Hal itu sesuai dengan defisini homestay yang hanya memiliki jumlah kamar maksimal hanya 5 unit.
"Saat ini selain dikenakan pajak yang sama seperti hotel yang sebesar 10%. Homestay juga dikenakan PPh UMKM ke pajak pusat juga. Malah ada pajak air tanah dan penerangan jalan. Jadi dirasa memberatkan," ujarnya kepada Bisnis, Kamis (21/2/2019).
Anneke menambahkan sejak 2017 hingga 2018, Kemenpar telah mengembangkan 2.960 unit kamar homestay desa wisata dari target yang sebanyak 5.000 unit kamar. Di tahun ini sendiri, Kemenpar akan mengembangkan 7.070 unit kamar homestay desa wisata.
Adapun skema pengembangan yang akan dilakukan untuk sebanyak 7.070 unit kamar homestay desa wisata ini dengan dilakukan konversi di 4.900 unit kamar, revitalisasi dan renovasi sebanyak 1.750 unit kamar dan 350 unit kamar bangun baru. Tentunya pengembangan kamar homestay ini disesuaikan dengan standar homestay Asean.
Untuk pembangunan kamar baru homestay difokuskan pada 10 destinasi prioritas pemerintah yang terletak di Danau Toba, Borobudur, Mandalika, Labuan Bajo, Tanjung Kelayang, Tanjung Lesung, Kepulauan Seribu dan Kota Tua, Bromo Tengger Semeru, Wakatobi, dan Morotai.
"Pertumbuhan homestay ini memperhatikan jumlah kunjungan wisatawan. Misalnya, dengan perhitungan rerata kunjungan 2000 wisatawan dalam sepekan untuk satu destinasi. Jadi penambahan homestay ini tak asal tambah gitu saja," tutur Anneke.
Guru Besar Ilmu Kebijakan Perpajakan Universitas Indonesia Haula Rosdiana berpendapat pengenaan pajak hotel kepada pelaku usaha homestay ini tentunya sangat berpengaruh pada arus kas pengusaha.
"Pajak hotel yang dikenakan ke homestay tak memiliki dasar hukum yang kuat," ujarnya.
Pemerintah semestinya berpihak kepada pelaku usaha homestay desa wisata. Terlebih, pemerintah tengah gencar meningkatkan sektor pariwisata Tanah Air sehingga pemberian insentif pajak secara langsung dan tak langsung kepada pengusaha homestay ini sangat dibutuhkan.
Hal itu dapat dilakukan dengan pengenaan besaran pajak homestay secara bertingkat.
"Kalau tidak secara leveling, pajak homestay dikenakan maksimal hanya 2%. Jangan disamakan dengan hotel karena beda perolehan pendapatannya. Ditambah lagi, homestay itu juga banyak kena pajaknya, misal pajak penerangan jalan, pajak bumi dan bangunan, pajak air tanah, ini tentu memberatkan pelaku homestay," terangnya.