Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Perindustrian terus memacu hilirisasi industri pengolahan kakao guna menciptakan nilai tambah dari komoditas tersebut.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan laju ekspor hasil olahan kakao menunjukkan tren positif, yang mengindikasikan nilai tambah dari impor biji kakao.
Berdasarkan data Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI), impor biji kakao meningkat 7,9% (y-o-y) pada periode Januari–November 2018 senilai US$479,32 juta, sedangkan ekspor pada periode yang sama naik 39,81% (y-o-y) menjadi US$71,67.
Kendati demikian, Airlangga menilai impor bahan baku biji kakao telah diberikan nilai tambah yang tecermin dari peningkatan surplus neraca dagang kakao olahan sebesar 9,11%.
Menurutnya, peningkatan impor biji kakao lantaran keperluan industri, karena pasokan biji kakao lokal belum dapat memenuhi kebutuhan bahan baku industri pengolahan kakao.
"Tentu kami dorong agar per komoditasnya tumbuh, baik tumbuh produksi maupun ekspornya. Tumbuh dengan peningkatan kapasitas produksi dan peningkatan nilai tambah melalui hilirisasi," ujar Airlangga kepada Bisnis, Senin (11/2/2019).
Meskipun laju ekspor meningkat, defisit neraca dagang biji kakao tercatat meningkat 3,21% (y-o-y). Pada periode Januari–November 2018 defisit neraca dagang biji kakao tercatat sebesar US$407,65 juta, sedangkan pada periode yang sama 2017 sebesar US$394,96 juta.
Guna mengembangan industri olahan kakao yang dapat memberikan nilai tambah, kata Airlangga, kualitas sumber daya manusia harus terus ditingkatkan. Salah satu langkah pemerintah ialah mendirikan Pusat Pengembangan Kompetensi Industri Pengolahan Kakao Terpadu (PPKIPKT) di Batang, Jawa Tengah.
Menurutnya, pusat pengembangan tersebut dapat menjadi medium pembelajaran masyarakat mengenai industri pengolahan kakao.
"Untuk pertama kali ada fasilitas bukan cuma teaching factory, tetapi teaching industry. [Fasilitas ini] bisa jadi prototype untuk dikembangkan, [PPKIPKT] ini life size factory, bukan small factory," ujarnya.