Bisnis.com, JAKARTA - Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) sepanjang 2018 mengalami defisit US$7,1 miliar dipicu oleh defisit transaksi berjalan yang melebar hingga 2,98% terhadap PDB atau US$31,3 miliar.
Defisit di dalam NPI ini merupakan defisit terbesar sejak 2015 yang mencapai US$1,1 miliar. Sementara itu, nilai defisit transaksi berjalan yang mencapai US$31,3 miliar merupakan defisit terbesar sepanjang rilis data neraca pembayaran. Namun, angka defisit tersebut sejalan dengan ukuran ekonomi Indonesia.
Direktur Eksekutif Kepala Departemen Statistik, Yati Kurniati mengatakan defisit transaksi berjalan pada 2018 sebesar 2,98% masih berada di batas aman. Namun, dia mengungkapkan kontributor pemburukan defisit transaksi berjalan adalah neraca perdagangan yang mengalami defisit sebesar US$400 juta.
"Defisit tersebut terutama dipengaruhi oleh impor nonmigas yang tinggi, khususnya bahan baku dan barang modal sebagai dampak dari kuatnya aktivitas ekonomi di dalam negeri," kata Yati, Jumat (8/2).
Impor nonmigas sepanjang 2018 tumbuh 19,6%, dibandingkan tahun sebelumya sebesar 13,9%. Pertumbuhan ini didorong oleh impor riil, terutama impor barang modal seiring dengan kuatnya permintaan domestik untuk investasi. Dari catatan BI, impor mesin dan pesawat mekanik tumbuh hingga 25,7%, cukup tinggi dibandingkan dengan 3,4% pada 2017.
Lebih lanjut, neraca pembayaran primer yang merupakan komponen dari transaksi berjalan mengalami perbaikan akibat penurunan di sisi neto pembayaran pendapatan investasi langsung dan investasi lainnya. Untuk keseluruhan tahun, defisit neraca pendapatan primer menurun dari US$32,1 miliar pada 2017, menjadi US$30,4 miliar pada 2018.
Sementara itu, neraca pendapatan sekunder pada 2018 meningkat menjadi US$6,9 miliar dari posisi surplus tahun 2017 sebesar US$4,5 miliar.
Kinerja yang kurang mumpuni dari neraca pembayaran juga ditunjukkan oleh transaksi modal dan finansial sepanjang 2018. Surplus dari transaksi modal dan finansial sepanjang tahun lalu menyusut menjadi US$25,2 miliar dari US$28,7 miliar pada tahun sebelumnya.
Penurunan surplus ini dipicu oleh peningkatan ketidakpastian di pasar keuangan global yang menyebabkan terjadinya penyesuaian penempatan dana asing khususnya di pasar saham dan surat utang pemerintah. Dari sisi investasi portofolio, surplusnya mengalami penurunan menjadi US$9,3 miliar dari US$21,1 miliar pada tahun sebelumnya.
"Penurunan tersebut disebabkan oleh derasnya arus dana asing yang keluar dari pasar saham dan instrumen surat utang pemerintah berdenominasi rupiah khususnya pada tiga triwulan pertama," kata Yati.
Investasi langsung sesuai data BKPM yang dikutip BI mengalami penurunan menjadi US$392,7 triliun pada 2018 dari US$430, 5 triliun pada 2017.