Bisnis.com, JAKARTA — Stagnasi hulu minyak dan gas bumi (migas) bisa sedikit terurai jika rencana pemberian diskresi oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil dalam pembebasan lahan untuk sektor migas bisa segera direalisasikan.
Selama ini, kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) menghadapi kendala pembebasan lahan dalam rencana investasi mereka. Sebagai contoh, wilayah kerja migas masuk ke kawasan hutan atau wilayah permukiman sehingga kontraktor harus melakukan pembebasan lahan dan ganti rugi. Namun, proses pembebasan lahan berjalan lambat.
Pemerintah akan mempercepat dan memberikan diskresi dalam pengadaan lahan untuk proyek hulu dan hilir migas mengingat tren produksi minyak bumi di Tanah Air terus turun dalam beberapa tahun terakhir.
Selain itu, produksi siap jual (lifting) minyak bumi di dalam negeri di kisaran 700.000—800.000 barel per hari (bph) di bawah kebutuhan konsumsi sekitar 1,6 juta bph. Oleh karena itu, kekurangan tersebut disuplai dari impor sehingga menguras devisa negara.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil mengatakan bahwa saat ini SKK Migas seperti lembaga-lembaga lain masih kesulitan dalam memperoleh lahan. Oleh karena itu, katanya, Kementerian ATR/BPN akan mempercepat, bahkan memberikan diskresi bahwa kepentingan bisnis minyak dan gas bumi merupakan kepentingan publik.
“Karena sekarang kami tahu produksi migas kami tidak naik signifikan, bahkan cenderung turun. Salah satu penyebabnya adalah hambatan penggunaan lahan sehingga eksplorasi baru tidak banyak," kata Sofyan setelah acara penandatanganan nota kesepahaman antara Kementerian ATR/BPN dan SKK Migas, Senin (28/1).
Menurutnya, melalui nota kesepahaman itu, SKK Migas akan mendapatkan kemudahan dalam melakukan pembebasan lahan.
"Hari ini produksi migas dalam negeri hanya sekitar 800.000 barel per hari [bph], kami impor lebih dari 1 juta barel. Itu yang menyebabkan defisit paling besar di migas. Oleh karena itu, saya akan keluarkan diskresi sebagai menteri, kami berlakukan ini sebagai kepentingan publik karena sama pentingnya dengan infrastruktur."
Dalam hal ini, Sofyan menuturkan bahwa selama ini proses lahan dilakukan secara bisnis sehingga cukup sulit untuk melakukan pembebasan lahan. Apalagi, dalam UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Kepentingan Umum, sektor minyak dan gas bumi tidak disebut sebagai kepentingan umum.
"Kalau pemilik tanah tidak setuju, repot kami. Namun, kalau [dianggap] kepentingan umum, misalkan ada penlok [penetapan lokasi] bahwa tanah ini dibutuhkan negara, kami panggil [jasa] penilai. Nanti mereka menilai harga lahan, biaya ganti rugi."