Bisnis.com, JAKARTA — Rentetan bencana alam sepanjang tahun lalu mengakibatkan sektor pariwisata Indonesia kehilangan potensi 1 juta kunjungan wisatawan atau setara dengan devisa senilai US$1 miliar.
Menteri Pariwisata Arief Yahya mengatakan, jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang datang ke Indonesia pada 2018 hanya mencapai 16 juta kunjungan atau di bawah target 17 juta kunjungan.
“Kehilangan 1 juta wisman sepanjang tahun lalu akibat bencana sehingga total ada 16 juta kunjungan wisman. Pada Juli—Agustus 2018, terdapat 1,5 juta kunjungan wisman. Gempa Lombok pada 5 Agustus sangat berdampak pada wisman, karena pada 6 Agustus, kunjungan wisman langsung drop 65%,” ujarnya kepada Bisnis.com, Senin (21/1/2019).
Dia menambahkan, rentetan bencana alam tahun lalu juga berdampak pada hilangnya potensi pendapatan devisa dari belanja wisman senilai US$1 miliar.
“Pariwisata memang sangat sensitif baik terhadap bencana alam maupun terorisme, tapi itu bisa terjadi dimana-mana, yang terpenting bagaimana memitigasinya,” katanya.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (Asita) Asnawi Bahar tak memungkiri bencana alam yang terjadi di Indonesia sangat berpengaruh pada pariwisata Tanah Air. Kenyaman wisman turut terganggu karena adanya travel advice yang dikeluarkan negara asal mereka.
“Rasa nyaman wisatawan memang terganggu karena bencana dan travel advice. Karena muncul travel advice, banyak wisman yang mengalihkan kunjungan ke destinasi di negara lainnya,” ucapnya.
Untuk itu, Asnawi mengimbau agar pemerintah mempersiapkan destinasi alternatif untuk dijadikan daya tarik baru ketika destinasi wisata populer sedang diterpa bencana alam.
Syaratnya, kesiapan program 10 Destinasi Prioritas harus dipercepat guna memberikan alternatif bagi wisman untuk tetap berlibur di Indonesia.
Sekadar catatan, proyek 10 Bali Baru atau 10 Destinasi Prioritas tersebut terdiri dari Danau Toba, Tanjung Lesung, Tanjung Kelayang, Kepulauan Seribu dan Kota Tua, Borobudur, Bromo Tengger Semeru, Wakatobi, Mandalika, Morotai dan Labuan Bajo. Adapun, kebutuhan investasi untuk pembangunan 10 destinasi tersebut mencapai Rp500 triliun.
Sementara itu, Ketua Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Didien Junaedi sepakat bahwa memang harus ada alternatif destinasi wisata untuk wisman ketika bencana alam terjadi, sehingga tak menyusutkan jumlah kunjungan wisman ke Tanah Air.
Namun, yang lebih penting adalah harus ada sistem pengelolaan dan pemulihan pascabencana yang lebih terstruktur sehingga dampaknya ke sektor pariwisata dapat diminimalisasi.
“Memang, ketika bencana terjadi, langsung ada penurunan jumlah kunjungan wisman. Namun, sampai dengan saat ini, pariwisata Indonesia tetap menempati urutan atas sehingga salah satu caranya adalah membuat sistem mitigasi yang lebih baik,” kata Didien.
Secara terpisah, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho menjelaskan, pembangunan sektor pariwisata harus memperhatikan faktor mitigasi bencana.
Pasalnya, industri pariwisata di Tanah Air sangat rentan terhadap bencana, apabila tidak dikelola dengan baik. Dampak bencana tentu akan memengaruhi ekosistem pariwisata dan mempersulit pencapaian target kinerja pariwisata.
“Pariwisata seringkali diasosiasikan dengan kesenangan, dan wisatawan melihat keamanan dan kenyamanan sebagai satu hal yang esensial dalam berwisata. Adapun, bencana merupakan salah satu faktor yang sangat rentan memengaruhi naik turunnya permintaan dalam industri pariwisata,” ujarnya.
Menurutnya, mitigasi dan pengurangan risiko bencana hendaknya ditempatkan sebagai investasi dalam pembangunan pariwisata itu sendiri.
Mitigasi harus dilakukan baik dalam konteks mitigasi struktural maupun nonstruktural di kawasan pariwisata. “Dan ini harus ditempatkan menjadi salah satu prioritas dalam pembangunan sektor pariwisata,” tegasnya.
Dia pun mengimbau agar pembangunan 10 Destinasi Prioritas yang digalakkan pemerintah saat ini harus mengedepankan sistem mitigasi bencana dan pengurangan risiko bencana, sehingga daerah pariwisata yang akan dikembangkan dalam program tersebut aman dari bencana.
Terlebih, sambungnya, delapan dari 10 daerah prioritas pariwisata tersebut berada di wilayah rawan gempa dan tsunami.
“Koordinasi perlu dilakukan dengan berbagai pihak, termasuk dengan pentahelix [pemangku kepentingan sektor pariwisata], pemerintah, dunia usaha atau usahawan, akademisi, masyarakat, dan media,” ucap Sutopo.
WISMAN BALI
Pada perkembangan lain di dunia kepariwisataan Tanah Air, Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia (ICPI) Azril Azahari menolak secara tegas rencana Provinsi Bali, yang akan mengenakan pungutan US$10 terhadap wisman yang berpelesir ke Pulau Dewata.
“Pengenaan [pungutan] ini diperuntukkan menjaga lingkungan dan budaya di Bali, tapi pasti akan menurunkan jumlah turis yang akan datang ke Bali, sekitar 15%. Ini juga membuat target 20 juta kunjungan wisman tahun ini akan sulit tercapai,” ujarnya, Senin (21/1).
Berdasarkan data BPS, sepanjang Januari—November 2018, jumlah wisman yang datang melalui Bandara Internasional Ngurah Rai mencapai 5,53 juta orang alias naik 2,95% dari rentang yang sama tahun sebelumnya.
Lalu, wisman yang datang melalui jalur laut di Tanjung Benoa mencapai 27.884 orang, turun 10,6% dari periode sebelumnya yang mencapai 31.208 orang.
Rencana penerapan pungutan wisman di Bali, lanjutnya, juga diadang keberatan oleh beberapa maskapai penerbangan internasional dan IATA (The International Air Transport Association).
Azril menilai ada beberapa hal yang perlu dikaji lebih lanjut. Misalnya, apakah rencana aturan tersebut tak bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat yang telah membebaskan visa untuk sekitar 169 negara.
“Selain itu, yang perlu dilihat apakah [pungutan] yang diperoleh dari wisman tersebut akan langsung digunakan untuk perbaikan aktivitas pariwisata seperti untuk pengelolaan kebersihan di destinasi pariwisata?”
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) sekaligus Ketua Visit Wonderful Indonesia (Viwi) 2018 Hariyadi Sukamdani menuturkan, rencana pengenaan pungutan wisman di Bali itu akan mematikan pariwisata di Pulau Dewata karena memberatkan turis asing yang berkunjung.
“Kami enggak setuju karena akan membuat Bali terpuruk. Bali ini destinasi pariwisata pertama yang menopang pariwisata Indonesia karena banyak wisman yang ke Bali,” ujarnya.
Sementara itu, Menteri Pariwisata Arief Yahya berpendapat rencana tersebut harus dilakukan dengan kalkulasi yang cermat dan bijaksana agar tidak menimbulkan kegaduhan di kalangan pelaku usaha sektor pariwisata.
Tidak hanya itu, dia meminta Pemperintah Provinsi Bali menimbang dampaknya terhadap wisman yang berasal dari negara-negara terdekat dari Indonesia.
“Ini harus diperhitungkan. Ketika ada tambahan biaya tentu demand-nya pasti akan turun. Jika dikenai pajak 10%, maka demand-nya akan turun 10%. Jadi, ini memang harus dihitung benar-benar,” katanya.
Sebelumnya, Pemerintah Provinsi Bali mengumumkan wacana pengenaan pungutan terhadap wisman, yang besarannya sekitar US$10 dolar.
Pungutan akan dilakukan melalui penjualan tiket atau pembelian tiket yang dilakukan oleh orang asing. Hal itu dilakukan karena selama ini yang wisman yang datang ke Bali kebanyakan melalui jalur udara.
Dana tersebut nantinya akan dimanfaatkan untuk pembangunan desa adat hingga di tingkat paling bawah di Bali, karena desa adat dinilai sebagai benteng terakhir budaya Bali.