Bisnis.com, JAKARTA — Harga produk asal Indonesia yang tidak kompetitif menjadi alasan kinerja ekspor nonmigas ke sejumlah negara nontradisional gagal mencapai target pada tahun lalu.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno mengaku, selama ini para pengusaha kesulitan memacu ekspornya ke mitra dagang nontradisional lantaran produk-produk asal Indonesia lebih mahal dibandingkan dengan barang-barang dari negara-negara kompetitor.
Dia menyebutkan, kondisi itu terutama terjadi kepada produk-produk manufaktur dan olahan bernilai tambah.
“Kami kalah bersaing dengan negara seperti Vietnam dan China yang lebih efisien dalam hal ongkos produksi. Masalah ini sebenarnya adalah persoalan yang cukup lama melanda kita, sehingga bukan hal yang mengagetkan kalau kinerja ekspor nonmigas ke negara nontradisional belum terlalu bagus,” jelasnya kepada Bisnis.com, Minggu (20/1/2019).
Untuk itu, dia berharap pemerintah bersedia meningkatkan insentif terhadap sektor manufaktur dalam negeri, terutama yang berbasis ekspor.
Menurutnya, persoalan biaya tenaga kerja dan ongkos energi yang tinggi, serta akses pembiayaan bagi eksportir harus dituntaskan dalam waktu dekat demi menunjang kinerja industri manufaktur berbasis ekspor.
Adapun, beberapa sektor industri yang ditengarai menghasilkan produk dengan harga yang kurang bersaing di pasar nontradisional a.l. tekstil dan produk tekstil (TPT), makanan dan minuman (mamin), serta produk turunan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).
Padahal, kata Benny, komoditas-komoditas tersebut merupakan produk olahan yang menjadi andalan ekspor nonmigas RI.
“Persoalan seperti ini yang harus diperhatikan lebih dulu, sebelum pemerintah menggencarkan pembukaan [akses pasar] atau promosi dagang ke negara nontradisional seperti yang disuarakan selama ini,” tuturnya.
Berdasarkan catatan Kementerian Perdagangan, kinerja ekspor nonmigas ke sejumlah negara nontradisional yang memiliki kantor perwakilan dagang tercatat mengalami koreksi pada 2018 dibandingkan dengan 2017.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor nonmigas ke Uni Emirat Arab (UEA) pada 2018 tekoreksi 8,31% secara year on year (yoy) menjadi US$1,45 miliar, sedangkan ekspor ke Mesir melorot 17,49% menjadi US$1,03 miliar, dan ke Arab Saudi menyusut 11,39% menjadi US$1,22 miliar.
Sementara itu, pada periode yang sama, ekspor ke negara Amerika Latin, seperti ke Brasil turun 6,51% menjadi US$1,14 miliar dan ke Chile hanya tumbuh 0,27% menjadi US$159,96 juta. Lebih lanjut, penjualan ke Afrika Selatan juga tercatat turun 6,05% menjadi US$645, 12 juta.
Padahal, mengacu pada target yang ditetapkan oleh otoritas perdagangan, ekspor nonmigas ke negara-negara tersebut seharusnya dipatok tumbuh cukup signifikan, yakni berkisar antara 1%—9%. (Lihat grafis).
Menanggapi tren negatif tersebut, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani berpendapat, rendahnya daya saing produk Indonesia di negara nontradisional menjadi salah satu persoalan yang menghambat kinerja ekspor nonmigas RI.
Situasi itu, lanjutnya, diperparah oleh kondisi ekonomi global yang masih belum membaik lantaran adanya ketidakpastian perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China.
“Kita membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk memperkuat penetrasi pasar produk nonmigas ke negara mitra nontradisional. Sebab, kita harus berkompetisi ketat dengan produk dari negara lain. Maka dari itu, penting bagi kita untuk memacu kerja sama dagang bebas [free trade agreement/FTA], sebagai salah satu solusi mereduksi tekanan dari sisi harga,” jelasnya.
Dari sudut pandang pelaku industri, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat menyatakan, Indonesia harus berjuang keras untuk bersaing dengan produk TPT dari Vietnam, China dan Bangladesh.
Dia mencontohkan, untuk ekspor ke regional Afrika, Indonesia harus bersaing dengan China yang sudah memiliki jalur logistik dan rantai pasok global yang lebih mapan di kawasan tersebut.
Adapun, terkait dengan jarak, ekspor TPT dari Bangladesh menjadi lebih murah lantaran jarak dengan Afrika dan Timur Tengah yang relatif lebih dekat.
“Itulah mengapa, kita sekarang lebih banyak fokus [ekspor TPT] ke AS dan Uni Eropa. Di AS kita sudah punya perjanjian dagang untuk menyerap kapas mereka supaya tekstil kita lebih banyak dibeli oleh negara itu,” ujarnya
Pada saat bersamaan, sebut Ade, para eksportir TPT Tanah Air sedang menantikan terlaksananya pakta kerja sama Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) agar dapat menggenjot penjualan ke Benua Biru.
Pasalnya, menurut dia, dengan kerja sama ekonomi komprehensif tersebut, TPT Indonesia akan dibebaskan bea masuknya ke kawasan Uni Eropa. Hal itu akan membuat produk TPT asal Indonesia dapat bersaing dengan produk asal Vietnam.
PERSOALAN WAJAR
Sementara itu, ekonom Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menjabarkan, belum maksimalnya kinerja ekspor ke negara nontradisional pada tahun lalu menjadi hal yang wajar.
Pasalnya, negara-negara di Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Latin mayoritas belum memiliki industri yang mumpuni.
Di sisi lain, jelasnya, Indonesia belum bisa memaksimalkan ekspor produk olahannya lantaran laju pertumbuhan manufaktur pada 2018 hanya menggapai level 4,5%.
“Wajar sekali jika apa yang digembar-gemborkan pemerintah untuk memperkuat ekspor ke pasar nontradisional belum berjalan maksimal tahun lalu. Kita masih bergantung [pada] ekspor produk mentah, dan industri kita belum tumbuh dengan baik. Padahal, yang dibutuhkan negara nontradisional itu produk jadi,” katanya.
Selain itu, ujar Enny, ekspor produk manufaktur Indonesia mendapatkan tekanan dari perang dagang antara AS dan China.
Menurutnya, kondisi ekspor China yang dihambat oleh Paman Sam membuat Negeri Panda mengalihkan pangsa pasar ekspornya ke negara-negara mitra nontradisional yang juga dibidik oleh Indonesia.
Permasalahannya, industri manufaktur berbasis ekspor di China jauh lebih efisien karena disokong oleh berbagai subsidi pemerintahnya. Alhasil, produk manufaktur asal Indonesia pun kalah saing.
Terkait dengan kompetisi melawan Vietnam, Enny menjelaskan, Indonesia mendapat tantangan karena China sengaja menggunakan negara Indochina tersebut sebagai ‘agen’ untuk produk ekspornya ke negara lain.
“Jadi, China mengirim barangnya melalui Vietnam, supaya mendapatkan pembebasan bea masuk dari perjanjian dagang yang dimiliki Vietnam dengan sejumlah negara di Afrika dan Timur Tengah. Produk kita pun akhirnya tersaingi dengan Vietnam,” ujarnya.
Untuk itu, dia meminta pemerintah meningkatkan insentifnya kepada eksportir-eksportir asal Indonesia, terutama untuk produk barang jadi dari sektor usaha kecil dan menegah (UKM).
Pasalnya, produk-produk UKM Tanah Air selama ini memiliki daya saing dan kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan negara lain, sehingga keberterimaannya di negara tujuan ekspor seharusnya menjadi lebih tinggi.
Kinerja Ekspor Nonmigas di Pasar Nontradisional yang Memiliki Perwakilan Dagang
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pertumbuhan 2018 (%) Target Pemerintah (%)
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
UEA -8,31 1,30
Arab Saudi -11,29 3,08
Mesir -17,49 9
Afrika Selatan -6,05 1,50
Brazil -6,51 8,40
Chile 0,27 7,40
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber: BPS & Kemendag, diolah