Bisnis.com, JAKARTA — Wisatawan nasional yang lebih memilih berpelesir ke luar negeri (outbound) pada tahun ini ditaksir menembus 10 juta orang, alias rekor tertinggi sepanjang sejarah.
Ketua Ikatan Cendikiawan Pariwisata Indonesia (ICPI) Azril Azahari mengatakan, tren kenaikan wisatawan nasional (wisnas) yang melakukan outbound setiap tahunnya cukup signifikan. Terlebih, harga tiket pesawat rute domestik yang mahal membuat mereka lebih doyan melancong ke luar negeri.
“Wisnas ini tidak menjadi perhatian pemerintah. Pemerintah terlalu fokus mendatangkan wisatawan mancanegara [wisman] dan devisa pariwisata, tetapi pendapatan dari wisnas ini didiamkan saja sehingga memang akan terjadi potential loss yang semakin tinggi,” ujarnya kepada Bisnis.com, belum lama ini.
Dengan demikian, dia meminta pemerintah menggeser arah kebijakan pariwisata yang semula lebih difokuskan untuk menaikkan jumlah kunjungan wisman menjadi fokus untuk menekan jumlah wisnas yang outbound.
Berdasarkan catatan ICPI, pada 2015 terdapat 8,18 juta wisnas yang melakukan outbound dengan total pengeluaran senilai US$8,06 miliar. Pada saat bersamaan, perolehan devisa dari wisman mencapai US$12,23 miliar. Lalu, pengeluaran dari 257 juta wisatawan nusantara (wisnus) yang melakukan perjalanan di Tanah Air mencapai Rp224,7 triliun.
“Tak ada artinya kalau devisa yang diperoleh banyak, tetapi orang Indonesia yang ke luar negeri juga mengeluarkan uang yang banyak pula. Ini yang harus menjadi tugas pemerintah agar devisa sektor pariwisata diperoleh secara maksimal dengan menarik wisnas agar mau berwisata dalam negeri,” tuturnya.
Menurut Azril, hal itu dapat dilakukan dengan cara menekan harga tiket pesawat rute domestik dan memberikan insentif untuk wisnas yang berpelesir di dalam negeri.
Pemerintah, lanjutnya, juga diminta mempercepat upaya menjadikan Indonesia sebagai surga belanja. Berdasarkan data The Best Shopping Destination di Asia Pasifik, Hong Kong menempati posisi puncak dalam daftar destinasi belanja terfavorit, diikuti Malaysia dan Singapura.
“Indonesia ranking ke-17. Jika Indonesia dijadikan surga belanja, saya yakin jumlah wisnas yang outbound untuk belanja akan berkurang,” ucap Azril.
HARGA TIKET
Sementara itu, Ketua Umum Association of The Indonesian Tours and Travel Agencies (Asita) Asnawi Bahar menuturkan. pemerintah perlu mengatur harga tiket pesawat pendukung pariwisata.
Saat ini, harga tiket pesawat ke luar negeri lebih murah ketimbang ke dalam negeri. Padahal pariwisata domestik tengah berkembang.
“Kalau tiket ke luar negeri murah, orang akan berbondong-bondong ke luar negeri, khususnya negara Asean yang living cost-nya sama [dengan Indonesia]. Nah, devisa pun jadi terancam,” ujarnya.
Menurutnya, maskapai penerbangan asing lebih gencar mempromosikan tiket ke negara asal mereka dengan harga menarik. Paket value for money yang dipromosikan pun menciptakan persepsi bahwa perjalanan ke luar negeri sama harganya atau bahkan lebih murah dari perjalanan untuk rute domestik.
“Kami terus mendorong anggota-anggota Asita untuk membuat paket-paket wisata beragam. Termasuk membuat segmentasi pasar untuk paket-paket yang dijual. Misalnya, untuk konsumen milenial, keluarga, petualangan, dan lain-lain. Kami berharap pemerintah turun tangan untuk benar-benar mengatur harga tiket pesawat ini,” tuturnya.
Asnawi pun memproyeksikan jumlah wisnas yang outbound sepanjang tahun ini akan menembus 10 juta orang.
Berdasarkan data Bank Indonesia, sepanjang Januari — September 2018, terdapat 7,18 juta wisnas yang outbound. Sepanjang 2017, terdapat 9,07 juta orang.
“Akhir tahun lalu, ada kenaikan sekitar 20% orang yang melakukan outbound dibandingkan dengan 2017. Jadi, tahun ini saya perkirakan wisnas yang outbound bisa mencapai 10 juta sampai 10,5 juta orang,” kata Asnawi.
Secara terpisah, ekonom Core Indonesia Mohammad Faisal tak memungkiri tren harga tiket pesawat rute domestik yang mengalami kenaikan, seperti akhir-akhir ini, akan mendorong wisnas untuk melakukan perjalanan wisata ke luar negeri ketimbang dalam negeri.
Namun, sepanjang peningkatan turis outbound diimbangi dengan peningkatan turis inbound yang lebih pesat, surplus pada neraca jasa perjalanan masih bisa terjaga dan bahkan bisa meningkat.
“Namun, perlu diperhatikan juga bahwa neraca jasa bukan hanya bergantung pada jumlah turisnya tapi seberapa besar spending per visit. Ini yang menjadi tugas bersama meningkatkan spending wisman di dalam negeri,” ucapnya.
Sementara itu, Policy Analyst Indonesia Services Dialogue Muhammad Syarif Hidayatullah berpendapat, peningkatan impor jasa travel atau jumlah wisnas yang outbound pada dasarnya tak perlu dikhawatirkan karena merupakan sinyal bahwa perekonomian membaik.
Dia menjelaskan, pihak yang tercatat sebagai pemakai jasa agen perjalanan ke luar (impor) adalah Warga Negara Indonesia (WNI) maupun Warga Negara Asing (WNA) dengan kitas/kitap.
“Tidak hanya orang yang ke luar dari Indonesia untuk tujuan wisata, tetapi juga untuk tujuan bisnis. Oleh sebab itu, outbound travel bisa menjadi sinyal perbaikan kondisi perekonomian dan perdagangan,” ujarnya.
Selain itu, peningkatan impor jasa perjalanan menjadi indikator konsumsi masyarakat mulai mengalami perbaikan. Lebih lanjut, dengan semakin banyak maskapai Indonesia yang membuka jalur perjalanan ke luar negeri, artinya outbound wisatawan dapat menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia juga.
Saat ini, sebut Syarief, yang harus dilakukan pemerintah adalah fokus mendorong ekspor jasa perjalanan dengan menarik lebih banyak kunjungan wisman.
Terlebih, selama lima tahun terakhir, surplus neraca jasa pariwisata Indonesia terus mengalami perkembangan, dari US$1,4 miliar pada 2013 menjadi US$4,2 miliar pada 2017.
Syarief mengatakan, perkembangan tersebut dapat semakin didorong dengan meningkatkan investasi di sektor pariwisata. Terlebih, selama lima tahun terakhir, investasi pariwisata melonjak lebih dari dua kali lipat yakni Rp6,4 triliun pada 2013 menjadi Rp15 triliun pada 2017.
Untuk mendorong geliat investasi pariwisata, lanjutnya, pemerintah perlu mendorong kebijakan yang proinvestasi, serta menyiapkan kualitas sumber daya manusia untuk di sektor tersebut.
“Pemerintah perlu mendorong berdirinya Balai Latihan Kerja [BLK] maupun sekolah vokasi pariwisata, terutama di wilayah timur Indonesia,” kata Syarif.
Dari sisi pelaku usaha, Vice President Brand and Communication Panorama Group AB Sadewa mengatakan, banyak dan tidaknya wisatawan yang melakukan outbound sepanjang tahun ini sangat bergantung pada pergerakan nilai tukar rupiah terhadap mata uang dolar AS.
“Prospek outbound untuk leisure product sangat bergantung pada dolar AS sebetulnya. Jadi, kalo rupiah tetap stabil, saya rasa minat outbound tetap bertumbuh,” tuturnya.
GM Retail Business Management H.I.S. Travel Indonesia Nasrullah Syuhadak menambahkan, Indonesia menjadi mangsa pasar untuk pariwisata di Jepang. Sepanjang tahun lalu, jumlah wisnas yang diberangkatkan ke Negeri Sakura sekitar 40.000 orang.
“Jumlah wisatawan yang ke Jepang terus bertambah. Tahun ini belum tahu, karena 2019 baru masuk bulan pertama,” ucapnya.
Jumlah Wisatawan Outbound (juta orang)
---------------------------
Peridoe Total
---------------------------
QI—III/2018 7,18
2017 9,07
2016 8,30
2015 8,34
2014 8,24
2013 8,25
2012 7,6
2011 6,97
---------------------------
Neraca Jasa Perjalanan (US$ juta)
-----------------------------------------------
Periode Ekspor Impor
-----------------------------------------------
QI—III/2018 10,62 6,66
2017 12,53 8,28
2016 11,20 7,55
2015 10,76 7,29
2014 10,26 7,68
2013 9,11 7,67
2012 8,32 6,77
2011 7,99 6,25
-----------------------------------------------
Sumber: Bank Indonesia, diolah