Bisnis.com, JAKARTA - Isu soal utang menjadi isu yang kerab diperdebatkan dan menjadi komoditas politik seiring bergulirnya tahun politik. Ada yang melihatnya secara proporsional adapula yang cenderung skeptis dengan utang yang memang setiap tahun terus bertambah.
Pada sisi ini, argumentasi dua-duanya sebenarnya tak ada yang salah. Apalagi, utang yang cenderung bertumpuk dan tak terkontrol bisa membahayakan kredibilitas pengelolaan anggaran. Hanya saja, ada satu catatan, utang tak bisa dipahami secara parsial, perlu memahaminya secara komprehensif sebagai kesatuan dari kebijakan pengelolaan anggaran.
Dalam kasus saat ini, salah satu perdebatan yang paling kentara adalah statemen soal utang yang terus tumbuh dianggap kebijakan yang ugal-ugalan.
Pendapat seperti itu sebenarnya tak ada pesoalan, dan memang benar adanya. Utang yang cenderung tak terkontrol akan menghadapkan negara dalam posisi yang lebih riskan. Namun demikian, persoalan mendasarnya adalah apakah bisa pemerintah menjalankan programnya tanpa utang?
Mengelola APBN ibarat mengatur keuangan rumah tangga. Bedanya, utang yang dikelola negara serta kompleksitas masalahnya lebih banyak dan sangat luas. Kalau pendapatan kurang dan tak bisa menutup pengeluaran, tentu jalan satu-satunya adalah dengan berutang.
Selain itu, peraturan perundangan saat ini juga masih melegalkan utang sebagai salah satu kebijakan pengelolaan anggaran, tentu dengan dosis tertentu. Dalam UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara, utang dibatasi diangka 60% dari produk domestik bruto (PDB) dan defisit pada angka 3%. Artinya selama rezim defisit diterapkan, kebutuhan utang pemerintah masih akan terus berlanjut.
Apalagi dengan kondisi saat ini, pendapatan negara belum mampu menutup kebutuhan belanja negara. Struktur APBN tahun 2018 misalnya, pendapatan negara dipatok senilai Rp1.894,7 triliun dan belanja Rp2.220, 6 triliun. Dari angka itu saja sebenarnya masih ada celah fiskal senilai Rp325,9 triliun untuk menutup kebutuhan pengeluaran pemerintah. Untuk menutup itu, uangnya dari mana?
Utang tentu bisa menjadi jawaban atau bisa saja menekan utang dengan memangkas belanja dan menyesuaikannya dengan pendapatan yang masuk ke kas negara. Hanya saja, dengan catatan kebutuhan alokasi anggaran saat ini, pilihan memangkas belanja tentu memiliki risiko terhadap program-program yang akan dijalankan pemerintah.
Nah pertanyaan sekarang bagaimana kondisi utang pemerintah dan seberapa gawat kualitas utang pemerintah?
Data Kementerian Keuangan menunjukkan, total utang pemerintah selama November sebesar Rp4.395,9 triliun atau dengan asumsi PDB senilai Rp14.697,4 triliun rasio utang berada pada angka 29,91%. Jumlah ini tercatat turun, karena pada Oktober 2018 total utang telah menembus pada angka Rp4.478,5 triliun atau dengan asumsi PDB pada angka Rp14.596,6 triliun, rasio utang terhadap PDB tembus pada angka 30,68%.
Kalau dilihat dari sisi jumlah, angka Rp4.395,9 triliun memang meningkat cukup tajam dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Akan tetapi, dilihat dari aspek rasio utangnya angkanya masih pada kisaran 29%. Artinya jika merujuk ke UU Keuangan Negara, angka itu masih cukup aman dan belum menyentuh level paling buruk.
Selain itu, dari sisi kebutuhan pembiayaan. Setiap tahun pertumbuhannya tercatat mengalami penurunan. Data November misalnya, kebutuhan pembiayaan tercatat -21,6%. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan 2015 sebesar 21,5% atau 2016 yang berada pada angka 20,2%.
Utang harus diakui masih terkendali. Hanya saja ada satu persoalan yang paling penting dan cukup substansial yakni soal perbaikan pendapatan negara. Tahun ini mungkin kinerja pendapatan negara agak terbantu oleh pendapatan dari migas yang naik seiring dengan kenaikan harga minyak.
Persoalannya, apakah kondisi ini akan berlanjut sampai tahun depan? Kalau sampai ini tidak berlanjut dan tahun depan penerimaan justru terpuruk, bagaimana kinerja APBN ke depan? Kita tunggu saja nanti..