Kiwi adalah sebutan bagi orang Selandia Baru. Siapa saja warga yang mukim di Selandia Baru, dia disebut sebagai "Kiwi". Khusus orang Selandia Baru yang berasal dari suku Maori, suku asli negara itu, dia disebut "Iwi".
Sekira sepekan, saya mengunjungi negeri Kiwi, 7-14 November lalu. Ada tiga kota yang saya kunjungi, yakni Wellington, Queenstown dan Auckland, serta satu kota kecil Arrow Town.
Semuanya mengesankan bahwa negeri ini memang damai, teratur, dan, menurut terminologi yang populer di kebanyakan muslim Indonesia: 'Islami'.
Nilai-nilai kehidupan "yang seharusnya", dapat dijumpai dalam kenyataan "yang sesungguhnya" di negeri Kiwi itu.
Antara das sollen dan das sein nyambung. Saya jadi ingat penataran P4 100 jam, saat pekan pertama kuliah. Tata nilai dan moral yang diajarkan dalam butir-butir perilaku sesuai P4 adalah das sollen yang harus dijalankan dalam kehidupan sehari-hari sebagai das sein.
Meski begitu, kenyataan dalam kehidupan sehari-hari kita sepertinya masih jauh panggang dari api. Begitu pun dalam ajaran agama yang mengandung tata nilai yang luhur dan adiluhung, dalam kehidupan sehari-hari masih belum seperti kita harapkan.
Lantaran korelasi das sollen dan das sein yang nyambung itulah, barangkali Selandia Baru dikenal sebagai salah satu negara dengan "indeks Islami" yang tinggi.
Padahal, di Selandia Baru tercatat hanya 1% saja penduduk yang beragama Islam, selebihnya 45% Kristiani dan 40% bahkan ateis, sisanya agama-agama yang lain. Tampaknya, nilai ke-Islam-an lebih menjadi realita kehidupan sehari-hari ketimbang 'keimanan'.
Studi George Washington University beberapa tahun lalu memang menyebutkan, Irlandia, Denmark, Luxemburg, dan Selandia Baru sebagai negara dengan indeks ke-Islam-an tertinggi. Malaysia menempati posisi 33, sedangkan Indonesia, yang 80% penduduknya beragama Islam, justru berada di posisi 140.
Indeks tersebut secara umum diukur dari nilai-nilai yang dijalankan di tengah masyarakat seperti kejujuran, keadilan, kesetaraan hukum, kesempatan yang sama dalam ekonomi, kesetaraan politik.
Tertib dan taat pada aturan, etika dan tatakelola yang baik, kedisiplinan dalam perilaku keseharian, rupanya menjadi ciri yang menonjol dari nilai-nilai (values) kehidupan yang dianggap islami itu.
Salah satu pemandangan di Arrow Town
***
Nilai-nilai dalam sebuah masyarakat pada akhirnya menopang tradisi kehidupan sehari-hari, termasuk dalam memperlakukan pendatang.
Dalam konteks pariwisata, praktik tata nilai ini menjadi penting, dalam memperlakukan pengunjung atau pendatang yang hendak melihat destinasi liburan.
Maka, daerah dengan tipologi warga seperti itu akan mudah 'akrab' dan wellcome dengan wisatawan. Bagi destinasi wisata, karakteristik ini saat penting dan menjadi variabel pokok di antara banyak variabel lainnya termasuk infrastruktur.
Di Selandia Baru, Queenstown dapat dipakai sebagai contoh. Ini adalah kota kecil berpenduduk 40.000 orang, yang bisa dikunjungi turis sampai lebih dari 3 juta orang. Padahal jualannya 'hanya' danau dan pegunungan.
Sudut kota Queenstown
Mengapa bisa seperti itu? Jawabannya adalah keterbukaan dan keramahan yang tulus (hospitality). Hal itu saya temukan di kebanyakan tempat yang pernah saya kunjungi, bukan saja di Selandia Baru.
Di negara-negara Asia, orang-orang yang tinggal di daerah destinasi wisata pada umumnya berpikiran terbuka. Selain open minded terhadap pendatang, mereka juga punya jiwa hospitality yang tinggi.
Bali, misalnya, warga pulau ini dikenal lebih open minded terhadap pendatang. Di Indonesia, sebenarnya banyak sekali potensi destinasi wisata yang bisa dikunjungi.
Masalahnya, di beberapa lokasi wisata di Indonesia, bukan sekadar infrastruktur semata yang belum benar-benar siap, tapi juga miskin atraksi, di luar banyak minus yang lain.
Mulai dari 'tukang palak' urusan parkir, soal merchandise dan suvenir yang harganya kelewatan, ada pembedaan antara pengunjung lokal dan turis asing, 'guide' lokal yang pasang tarif "injek kaki", sampai soal kekagetan saat bayar-membayar di sentra kuliner yang harganya di-mark-up nggak ketulungan.
Padahal, suka nggak suka, pariwisata adalah kontributor penting --dan bakal menjadi kian penting--dalam pembentukan kue perekonomian sebuah negara.
Thailand, yang dikunjungi lebih dari 35 juta wisatawan asing saban tahun, misalnya, juga memiliki warga yang open minded. Integritas orang-orang yang terlibat dalam industri pariwisata juga reliable.
Saya pernah mengalami kejadian tak enak bersama keluarga ketika harus membayar ulang atas kegagalan reservasi yang sudah dibayar melalui online booking yang telah dibuat jauh hari dari Jakarta.
Namun, tak menyangka, petugas rela mencari-cari kami yang sudah berbaur dengan ribuan pengunjung, ketika kemudian teridentifikasi bahwa reservasi online tersebut dapat diproses. Petugas itu mencari kami untuk mengembalikan uang yang telah dibayarkan di lokasi.
Tentu ini menjadi pengalaman kunjungan, yang memperkuat "rating" bagi destinasi tersebut.
Hal yang sepertinya peristiwa kecil menjadi penting dan besar bagi pembentukan "experience travelling" yang mengangkat kredibilitas destinasi pariwisata itu sendiri.
***
Namun, bukan semata paruiwisata yang ingin saya ceritakan dari negeri Kiwi. Saya pergi ke Selandia Baru adalah atas undangan Duta Besar Tantowi Yahya, yang tengah getol memperjuangkan diplomasi budaya di negeri itu.
Selandia Baru dengan ibukota Wellington, hanya berpenduduk 4,7 juta jiwa. Namun, turis yang datang ke negeri itu tiap tahun mencapai sekitar 5 juta wisatawan.
Sepasang turis sedang bersantai menikmati keindahan danau Wakatipu di Queensland
Sekitar 17%-18% dari seluruh penduduk Selandia Baru adalah "Iwi". Orang asli Maori itu mendapatkan perlakuan istimewa berdasarkan traktat Waitangi, konstitusi yang mendasari pendirian Selandia Baru.
Warga kulit putih, yang kebanyakan pendatang dari Inggris Raya, harus menjalankan tradisi budaya Maori. Iwi harus mendapatkan hak yang sama di segala bidang, tak ada diskriminasi dengan orang kulit putih.
Saat ini, wakil Perdana Menteri Selandia Baru adalah orang Maori. "35% anggota parlemen adalah orang Maori," ujar Tantowi.
Bahasa pertama diplomatik untuk Selandia Baru adalah bahasa Maori, baru kemudian bahasa Inggris. Lagu kebangsaan Selandia Baru, God Defend New Zealand, pada bait pertama adalah bahasa Maori. Bait kedua baru bahasa Inggris.
"Selain di ranah politik, banyak Iwi yang sukses di ranah bisnis," kata Tantowi lagi.
Nah, ada sedikitnya 7.000 orang Indonesia di Selandia Baru. Mahasiswa dan pelajar sendiri ada sekitar 1.200 orang.
Pada sensus terakhir, warga Indonesia yang masuk DPT alias Daftar Pemilih Tetap sebanyak 4.800 orang. Apabila disertakan dengan anak-anak dan pelajar yang tidak masuk DPT dan belum memiliki KTP, jumlahnya sekitar 7.000 orang.
Auckland, ibukota Selandia Baru, dihuni oleh 1,7 juta jiwa saja. Kota ini masuk salah satu kota termahal dunia. "Harga barang mencengangkan," kata Dubes Tantowi.
Memang, survei singkat saya ke beberapa toko, melihat harga barang bikin kaget-kaget. Pantas, mengingat tak banyak yang dapat diproduksi sendiri di negara itu. Banyak barang fashion, misalnya, diimpor dari China atau Bangladesh, meski didisain di Selandia Baru. Ini karena tak banyak tenaga kerja di negeri itu.
Tantowi memang punya misi meningkatkan kedatangan turis asal Selandia Baru ke Indonesia. Saat ini, turis Kiwi yang datang melalui gate Denpasar sudah meningkat dari 65.000 menjadi 105.000, setelah ada penerbangan langsung Emirates dari Auckland ke Denpasar.
Kunjungan turis itu mestinya bisa meningkat lagi seandainya permintaan Emirates agar ada penerbangan koneksi dengan Garuda untuk 9 destinasi lain di luar Denpasar dapat direalisasikan.
Direct flight memang menjadi faktor penting untuk kedatangan turis. Namun, tanpa tersambung dengan connected flight ke kota-kota yang lain, airline akan menghadapi rendahnya load factor, yang mengancam keberlangsungan mempertahankan direct flight itu sendiri. Itu yang dihadapi Air New Zealand yang sebelumnya terbang ke Denpasar, lalu berhenti.
Karena itu, Tantowi berharap permintaan Emirates menggandeng Garuda untuk connected flight dari Denpasar ke destinasi lain di Indonesia dapat terwujud. "Kalau ini jalan, implikasinya jumlah turis ke Indonesia akan terus meningkat," ujar Tantowi.
Namun, sekali lagi bukan sekadar turisme itu yang menjadi mimpi diplomatik Tantowi. Sekarang dia gencar mengkampanyekan budaya Indonesia di Selandia baru dan negara-negara di kawasan Pasifik itu, untuk misi yang lebih besar.
Bahkan, Tantowi baru saja sukses menggelar konser persahabatan bertajuk Symphony of Frendship yang diaransir maestro musik Erwin Gutawa dengan iringan Orkestra Wellington. Konser itu sukses membuat 'pecah' suasana Opera House Wellington pada 9 November lalu, yang dipadati sekitar 1.300 penonton.
Dubes Tantowi Yahya bersama Ketua Parlemen Selandia Baru Trevor Mallard (kiri) dan Ketua DPR Bambang Soesatyo sesaat setelah menyaksikan Konser Persahabatan The Symphony of Friendship di Wellington (9/11).
Bagi Tantowi, Konser Persahabatan itu cuma gateway saja. Berikutnya adalah konektivitas Pasifik, yang akan dijalin dengan Pameran Pacific Expo pada Juni mendatang. Pacific Expo akan menjadi ajang promosi budaya, perdagangan dan peluang investasi yang diikuti 5 provinsi Indonesia Timur.
Dengan bertolak dari diplomasi budaya itu, Tantowi menyimpan ultimate goal yang lain: Indonesia bisa menjadi big brother-nya 18 negara-negara Pasifik.
"Indonesia bisa mendampingi Selandia Baru, Australia, dan China," tuturnya yakin.
Apabila China masuk ke Pasifik dengan kekuatan uang dan ekonomi, Indonesia masuk melalui kekuatan budaya, kedekatan ras, suku dan rasa.
Tantowi percaya, "kalau budaya sudah masuk ke relung hati, akan sulit untuk pergi". Puitis sekali kedengarannya. Nah, bagaimana menurut Anda? (*)