Sedikitnya 181 tokoh BUMN -- terdiri dari Menteri Rini Soemarno beserta jajaran Kementerian BUMN, para direktur utama dan wadirut perusahaan yang dijuluki pelat merah itu -- menjadi peserta 'camping' pada 10-12 Maret silam.
Camping pakai tenda? Bukan. Mereka menginap di asrama Sekolah Perwira Menengah-Tinggi Polisi di Lembang. Tujuannya untuk mengikuti rangkaian BUMN Great Leaders Camp.
Kegiatan itu mengambil tema Membangun Bangsa Melalui Penguatan Sinergi dan Soliditas BUMN.
Saya, bersama 3 kolega pimpinan media lainnya, turut diundang untuk mengikuti acara itu. Seeing is believing. Sayangnya, saya tak bisa mengikuti seluruh acara sampai tuntas lantaran harus ikut kegiatan kantor di Jakarta pada Selasa.
Kendati begitu, saya mendapatkan kesan acara yang seru, hingga setidaknya Senin (11/3) siang saat saya meninggalkan Lembang.
Para Dirut BUMN, yang mengelola aset lebih dari Rp8.000 triliun itu, bermain banyak game, selain ikut seminar in-class.
Ada suntikan semangat Menteri Rini Soemarno, juga paparan Ketua BNPT Komjen Suhardi Alius lebih dari 2,5 jam. Komjen Suhardi memaparkan aktivitas penanganan terorisme dan deradikalisasi yang lebih humanis di Indonesia.
Ada juga paparan Menko Polhukam Wiranto soal situasi politik dan keamanan nasional di seputar Pemilu 2019.
Secara keseluruhan, sesuai temanya, rangkaian kegiatan itu bertujuan membangun soliditas para pemimpin puncak BUMN. Membangun sinergi agar BUMN, sebagai perusahaan pelat merah yang dimiliki negara, semakin berperan dalam memberikan kontribusi lebih besar bagi perekonomian nasional.
***
Isu sinergi memang selalu menjadi bahasan tatkala kita membahas BUMN, yang di masa lalu kerap diasosiasikan sebagai sapi perah penguasa.
Isu sinergi kini kian kuat berhembus. Tujuannya agar aset negara senilai Rp8.029 triliun (posisi tahun 2018) dapat dikelola lebih produktif. Bukan sekadar menguntungkan bagi entitas bisnis secara komersial, tetapi mampu menciptakan nilai tambah dan efek multiplier (berganda) yang lebih luas bagi perekonomian.
Belakangan ini, sinergi BUMN tampaknya mulai terlihat. Baru-baru ini, Kementerian BUMN memperkenalkan Link-Aja, sebuah aplikasi fintech hasil kolaborasi sejumlah BUMN perbankan dan telekomunikasi.
Sampai pekan ini, setidaknya tercatat sudah lebih 5 juta pengunduh Link-Aja di sistem operasi Android dan sekitar 1 juta di IOS. Padahal, aplikasi itu baru akan resmi diluncurkan pada 21 April nanti.
Sinergi BUMN serupa di sektor yang lain rasanya kian diperlukan.
Namun di pihak lain, memang masih banyak pekerjaan rumah yang sebenarnya belum sepenuhnya tuntas. Tanpa tedeng aling-aling, Menteri Rini mengungkit sejumlah BUMN yang masih merugi.
PT Krakatau Steel (persero) Tbk, misalnya, sampai hari ini masih merah. Tapi, jumlah BUMN yang merugi maupun nilai kerugiannya sebenarnya sudah semakin menyusut.
Ada pula BUMN yang belakangan namanya naik daun: Garuda Indonesia. Nama perusahaan penerbangan pelat merah itu belakangan ngetop karena persoalan harga tiket yang naik.
Perusahaan penerbangan flagship itu tahun 2017 lalu rugi lumayan besar.
Kabar baiknya, Garuda tahun lalu turn around, kembali untung. Nggak banyak sih, Garuda hanya laba US$5 juta. Namun kinerja Garuda jauh lebih baik jika dibandingkan dengan Malaysia Airlines, yang mengalami kerugian hampir US$2 miliar.
Bahkan Malaysian Airlines berisiko berhenti operasi jika pemerintahan Mahathir Muhammad ogah suntik modal lagi.
Kabar baiknya lagi, meski masih ada BUMN yang menderita kerugian, lebih banyak perusahaan pelat merah yang mampu membukukan keuntungan. Kabar baiknya, angka keuntungan BUMN terus meningkat. Secara konsolidasi termasuk anak perusahaan pelat merah, keuntungan BUMN tahun 2018 lalu mencapai Rp200 triliun.
Tentu, ini kinerja pelat merah yang menggembirakan. Maka, jelas bilamana ada yang bilang BUMN mau bangkrut, pandangan itu sangat menyesatkan. Misleading.
Faktanya, nilai keuntungan BUMN terus meningkat secara konsisten. Nilai aset juga meningkat signifikan. Begitupun nilai ekuitas. Itu semua kabar baik.
Catatan dari Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, menunjukkan bahwa aset BUMN tahun lalu mencapai Rp8.092 triliun, naik 12,23% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Nilai aset perusahaan pelat merah ini bahkan naik 40,48% jika dibandingkan dengan tahun 2015.
Ekuitas BUMN tahun lalu tercatat Rp2.479 triliun, naik 24,51% dibandingkan dengan tahun 2015. Sedangkan posisi laba perusahaan pelat merah naik 25,33% dibandingkan tahun 2015.
Di luar itu, BUMN juga memberikan kontribusi fiskal sebesar Rp422 triliun dalam bentuk pajak, dividen, dan pendapatan bukan pajak. Kontribusi itu naik 39,27% dibandingkan dengan tahun 2015.
***
Kinerja pelat merah memang terbukti outstanding dalam empat tahun terakhir. Kinerja yang baik itu adalah hasil kerja keras manajemen BUMN, karyawan dan seluruh pemangku kepentingan.
Jangan dilupakan pula, peran pemerintah dalam proses transformasi BUMN, selama 3 tahun terakhir ini terlihat menonjol. Leadership Rini berdampak signifikan.
Tagline "BUMN hadir untuk negeri", bukanlah isapan jempol. Berbagai penugasan telah membuahkan hasil, termasuk dalam pembangunan massal proyek infrastruktur.
Kata kuncinya: One nation, One vision dan One family. BUMN hadir untuk merekatkan kepentingan bangsa, membangun Indonesia incorporated, dan bertumbuh sebagai satu keluarga. Itulah yang selalu digaungkan Rini Soemarno.
Meski tidak mudah dan banyak upaya 'penjegalan' termasuk dari parlemen, strategi Rini memperkuat ikatan dan sinergi BUMN dengan semangat kepentingan nasional mulai berbuah.
Secara bisnis, BUMN bahkan semakin kuat. Laba Grup BUMN tahun ini ditargetkan naik lagi menjadi Rp225 triliun. Kalau dikonversi dalam nilai tukar dolar AS, jumlah laba BUMN itu mencapai US$16 miliar dengan kurs Rp14.000.
Sekadar pembanding, BUMN Malaysia, Khazanah Berhard, tahun lalu merugi 6,3 miliar ringgit, yang setara dengan US$1,5 miliar. Penyumbang terbesar kerugian Khazanah adalah kinerja Malaysia Airlines yang jeblok.
Diakui atau tidak, perbaikan kinerja BUMN adalah berkat pengelolaan yang lebih profesional akhir-akhir ini. Salah satu faktor, tidak ada lagi makelar jabatan direksi BUMN. Tidak seperti di masa lalu.
Namun, proses transformasi memang tidak mudah. Sejak pertamakali terminologi "transformasi" dan "reformasi BUMN" muncul tahun 1999, proses itu maju mundur dan pasang surut.
Sinergi BUMN, sebagai bagian dari proses transformasi, memang belum sepenuhnya solid hingga hari ini. Masih perlu lebih banyak upaya lagi untuk mengungkit sinergi yang lebih besar.
Dengan 'bimbingan' pemerintah sebagai wakil pemilik BUMN, semestinya sinergi dapat lebih memungkinkan untuk melipatgandakan manfaat ekonomi bagi korporasi dan masyarakat.
Sekadar contoh, hingga hari-hari ini masih kerap muncul polemik soal harga avtur antara Garuda dan Pertamina.
Padahal, baik pengguna (dalam hal ini Garuda Indonesia) maupun penyedia (yakni Pertamina) sama-sama perusahaan BUMN. Sama-sama menyandang status pelat merah, yang dimiliki negara.
Semestinya diskusi atau debat mengenai harga avtur tidak perlu berlarut-larut, karena berada dalam satu kendali Kementerian BUMN. Mestinya lebih mudah bersinergi mencari solusi demi kepentingan nasional.
Begitu pula soal harga gas untuk pupuk. Ada risiko harga gas untuk pupuk bakal meningkat sejalan dengan berakhirnya kontrak lama. Rasanya solusinya bisa lebih strategis jika sinergi sesama BUMN yang bersinggungan dengan gas benar-benar terbangun dengan baik.
Bukan sekadar hitungan komersial, tetapi benefit ekonomi yang lebih luas seyogianya menjadi acuan yang utama. Seperti penentuan "BBM satu harga". Konsensus dibangun berdasarkan azas 'maksimalisasi manfaat'.
Juga di BUMN baja, PT Krakatau Steel Tbk, yang saat ini masih rugi. Mengapa tidak membuat konsensus, apabila BUMN lain pesan keperluan baja, wajib pergi ke Krakatau Steel.
Lalu bagi semua karyawan BUMN yang bepergian dengan pesawat terbang, wajib menggunakan Garuda atau Citilink. Konsensus saling membantu mesti dibangun.
Untuk itu, pekerjaan rumah menuntaskan strategi "holdingisasi BUMN" tak bisa ditawar-tawar lagi. Holdingisasi perlu dilanjutkan, agar BUMN tidak lagi jalan sendiri-sendiri.
Akan lebih kuat lagi, seperti pernah dinyatakan Menteri Rini, apabila Superholding BUMN dapat terealisasi, menggantikan peran Kementerian.
Apabila strategi itu dapat dilanjutkan, pengelolaan BUMN --baik dari sisi strategi bisnis dan kebijakan-- akan lebih mengedepankan aspek korporasi dan benefit ekonomi, ketimbang birokrasi.
Untuk itu, saya setuju dengan pandangan Dirut PT Pupuk Kaltim Bakir Pasaman. Bakir yakin, apabila konsep Superholding BUMN benar-benar terealisasi, sinergi perusahaan negara akan jauh lebih efektif.
Dengan begitu, transformasi BUMN akan berlanjut ke tahapan yang lebih strategis dan lebih cepat. Harapan selanjutnya, BUMN tidak sekadar menjadi jago kandang, tetapi menjadi pemain global.
Saya merinding ketika Menteri Rini dengan lantang mengajak kesungguhan para Dirut BUMN untuk menjadi pemain global. "Kalau kalian tidak mau jadi global player, jangan jadi dirut BUMN. Mundur saja dari sekarang," begitu kata Rini.
BUMN, suka tak suka, memang seharusnya menjadi lokomotif ekonomi nasional. Perannya akan lebih besar lagi apabila berhasil menjalin sinergi yang kuat satu sama lain. Dengan begitu, peluang menciptakan nilai tambah akan kian cerah.
Nah, bagaimana menurut Anda? (*)
- Sumber: Beranda Bisnis Indonesia edisi 15 Maret 2019, halaman 1, dengan beberapa update.