Bisnis.com, JAKARTA – Moody’s Investors Service memperkirakan kondisi utang (credit conditions) untuk perusahaan non-keuangan di Indonesia akan tetap stabil selama 12 bulan ke depan.
"Untuk 2019, kami memperkirakan pertumbuhan laba moderat sekitar 4% untuk perusahaan Indonesia yang kami nilai, meskipun ada tekanan dari kenaikan suku bunga, depresiasi rupiah terhadap dolar AS, serta risiko politik, sosial dan ekonomi menjelang pemilu 2019," ungkap Jacintha Poh, Wakil Presiden dan Senior Credit Officer Moody’s dalam rilisnya yang diterima Bisnis.com, Kamis (22/11/2018).
Moody’s juga mengatakan bahwa untuk peningkatan kualitas kredit perusahaan akan dibatasi oleh pengeluaran modal mereka yang dibiayai utang yang tinggi dan fakta bahwa perusahaan-perusahaan ini beroperasi dalam lingkungan peraturan yang berkembang.
Sementara itu, Briand Grieser, Wakil Presiden dan Senior Credit Officer Moody’s mengatakan leverage dan cakupan bunga akan melemah secara umum meskipun masih dalam batas-batas sederhana, karena meningkatnya tingkat utang dan biaya pendanaan.
"Risiko refinancing tetap dapat dikelola pada 2019, tetapi akan meningkat pada 2021-2022, dipimpin oleh emiten dengan kinerja tinggi di sektor pertambangan dan properti,” ungkapnya.
Rilis Moody's yang berjudul, "Perusahaan non-keuangan - Indonesia: 2019 Outlook," ini mengatakan bahwa belanja modal sektor minyak dan gas yang besar akan menghasilkan leverage yang lebih tinggi.
Kinerja di sektor hulu didukung oleh harga minyak mentah yang sehat dan pertumbuhan volume produksi, tetapi kerugian di sektor hilir dari beban subsidi bahan bakar akan terus membebani arus kas operasional secara keseluruhan.
Pada sektor tambang dan jasa penambangan, Moody's memperkirakan laba akan terkontraksi pada 2019, menyusul asumsi harga batu bara termal dari Moody’s sebesar US$75 per ton. Di sisi lain, laba akan tetap kuat tangguh karena adanya peningkatan volume produksi dan stabilnya permintaan.
Di sektor properti, Moody's mengatakan bahwa metrik kredit perusahaan pengembang properti akan melemah pada 2018 dan 2019, karena meningkatnya belanja modal yang didanai utang, peningkatan biaya pendanaan, serta depresiasi rupiah.
Untuk sektor minyak sawit, perusahaan dengan kontribusi lebih besar dari penjualan hulu paling rentan terhadap penurunan harga minyak sawit mentah.
Sementara itu, perusahaan di sektor tekstil diperkirakan mencatat pertumbuhan pendapatan selama 12-18 bulan ke depan, didorong oleh ekspansi permintaan dan kapasitas yang kuat.
Adapun pada sektor telekomunikasi, Moody’s memperkirakan perusahaan di sektor ini akan mencatat tingkat pertumbuhan yang lebih lambat yang mencapai hanya 4% -6% untuk 2018 dan 2019, karena pertumbuhan pendapatan dari data tidak akan mengimbangi penurunan pendapatan dari layanan suara dan SMS.