Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ekspor Jasa 2019 Diyakini Bisa Tumbuh 7%-10%

Pemerintah yakin ekspor jasa akan bertumbuh antara 7%—10% pada 2019 dari target realisasi tahun ini senilai US$29,13 miliar. Dengan demikian, defisit neraca jasa diyakini berkurang pada tahun depan.

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah yakin ekspor jasa akan bertumbuh antara 7%—10% pada 2019 dari target realisasi tahun ini senilai US$29,13 miliar. Dengan demikian, defisit neraca jasa diyakini berkurang pada tahun depan.

 Asisten Deputi Moneter dan Neraca Pembayaran Kemenko Bidang Perekonomian Edi Prio Pambudi memaparkan, ekspor jasa bertumbuh rata-rata antara 4%—6,3% per tahun. Namun, untuk tahun depan, ada optimisme pertumbuhan yang jauh lebih baik.

“Sebab, tahun depan kebijakan penurunan pajak pertambahan nilai [PPN] sektor jasa menjadi 0% akan mulai diberlakukan. Selain itu, ada optimistisme dari sektor pariwisata seiring dengan kenaikan target kunjungan wisatawan mancanegara pada 2019,” ujarnya kepada Bisnis.com, akhir pekan lalu.

Dengan demikian, sebutnya, defisit neraca jasa pada tahun depan bisa sedikit diredam setelah menyentuh angka US$5,7 miliar pada Januari—September 2018. Nilai tersebut naik dari torehan defisit pada periode yang sama tahun lalu senilai US$5,5 miliar.

“Salah satu cara untuk mengurangi defisit neraca jasa adalah dengan meningkatkan ekspornya. Potensi ekspor jasa Indonesia sebenarnya sangat besar, karena sumber daya manusianya banyak. Namun, memang perlu ada peningkatan keterampilan, karena selama ini impor jasa masih tinggi.”

Edi menambahkan, salah satu cara untuk menambah keterampilan sumber daya manusia sektor jasa yakni dengan memberikan insentif super deduction. Artinya, setiap perusahaan swasta yang menggelar pelatihan keterampilan akan digantikan biayanya oleh pemerintah.

Direktur Eksekutif Indonesia Service Dialogue (ISD) Devi Ariyani berpendapat, jika pajak PPN sektor jasa diturunkan menjadi 0% mulai tahun depan, daya saing Indonesia saat mengekspor jasa ke negara lain akan terkatrol.

Namun demikian, perlu ada skema insentif tambahan agar para pengusaha Indonesia tak hanya jago di dalam negeri. Dia mencontohkan Indonesia memiliki berbagai macam bisnis restoran khas daerah yang perlu didorong agar bisa berekspansi ke luar negeri.

“Insentif dapat berupa fiskal dan nonfiskal. Pasalnya, para pelaku usaha ini lebih ingin berusaha di Indonesia dibandingkan dengan berekspansi ke luar negeri karena risiko tak terlalu tinggi dan sedikit ruginya.”

Selain itu, lanjutnya, pemerintah perlu membantu memudahkan para pengusaha yang ingin melebarkan bisnisnya ke luar negeri yakni dengan mempermudah perolehan bahan baku.

EMPAT SEKTOR

Lebih lanjut, Devi mengatakan ada 4 sektor yang dapat diandalkan untuk mengerek nilai ekspor jasa pada 2019 yaitu pariwisata terutama kuliner, teknologi informasi dan komunikasi (TIK), layanan bisnis, serta konstruksi.

Keempat sektor tersebut dianggap potensial karena dapat memberikan dampak ekonomi di dalam negeri yang besar dan memiliki revealed comparative advantage (RCA) atau indeks daya saing yang relatif tinggi.

“Semakin terkoneksinya dunia, maka peluang ekspor jasa semakin besar. Selain itu, Indonesia diuntungkan dengan adanya pakta kerja sama perdagangan baru yang membuka peluang ekspor jasa, seperti IA-CEPA dan Asean FTA,” katanya.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menambahkan, peningkatan ekspor jasa pada 2019 akan tertolong oleh penghapusan PPN sektor jasa khususnya untuk jasa profesional, TIK, dan pariwisata.

“Itu akan menjadi jalan masuknya devisa dari sektor jasa. Selama ini hanya 3 ekspor jasa yg dikenakan tarif 0%. Padahal, sebanyak 88 negara sudah menerapkan tarif ekspor jasa 0%. Kalau tidak segera menyesuaikan kita akan kehilangan peluang ekspor jasa,” tuturnya.

Selain itu, dia menyarankan perusahaan dalam negeri—khususnya yang terafiliasi dengan pemerintah—untuk menggunakan jasa logistik domestik untuk ekspor-impor.

Pasalnya, dia menyebut, penyebab utama defisit jasa di sektor transportasi adalah karena 90% penggunaan kapal asing untuk logistik ekspor-impor.

Saat dihubungi terpisah, Wakil Sekretaris Jenderal Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) Errika Ferdinata menuturkan, untuk dapat mengekspor jasa konstruksi saat ini sangat sulit. Pasalnya, indonesia pun membutuhkan tenaga kerja konstruksi yang besar seiring dengan pembangunan infrastruktur yang marak.

“Untuk kali ini ekspor jasa konstruksi sulit. Namun, sebisa mungkin tidak impor tenaga kerja jasa konstruksi. Kami berusaha untuk memenuhi dari dalam negeri,” katanya.

Kementerian Perdagangan sebelumnya mengusulkan perlunya lembaga atau institusi khusus untuk mendongkrak ekspor sektor jasa. Tugas lembaga tersebut nantinya adalah untuk memetakan permasalahan apa saja yang ada di sektor jasa dan bagaimana solusinya.

“[Pemerintah] perlu membentuk lembaga khusus ini, karena sektor jasa ada di 23 kementerian/lembaga dan 54 direktorat yang memiliki wewenang masing-masing,” ujar Direktur Kerjasama Pengembangan Ekspor Kemendag Marolop Nainggolan.

Dengan adanya lembaga tersebut, pemerintah dapat mengetahui bagaimana pasar jasa di luar negeri secara lebih mendalam, sehingga upaya peningkatan ekspor jasa dapat lebih diperkuat.

“[Indonesia] punya jasa animasi, tetapi tidak ada perhatian yang mendalam. Dengan adanya lembaga khusus ini tentu [pemerintah bisa] mengetahui apa yang dibutuhkan oleh pasar luar negeri sehinggga jasa animasi bisa terpakai,” ucapnya.

Untuk meningkatkan ekspor jasa, sambung Marolop, memang diperlukan juga penghapusan PPN sebesar 10%. Pasalnya, PPN membuat ekspor jasa Indonesia kurang kompetitif, karena negara Asean lain telah membebaskan pajak untuk sektor tersebut.

“Saat ini beberapa [sektor] jasa yang telah dihapuskan PPN-nya adalah jasa maklon, konstruksi, serta perbaikan dan perawatan barang. Untuk mendorong ekspor jasa juga diperlukan insentif lain selain PPN dihapus,” tuturnya.

Ketua Umum Association of The Indonesian Tours and Travel Agencies (Asita) Asnawi Bahar mengatakan, selama ini pengenaan PPN sebesar 10% memberatkan para pengusaha biro perjalanan.

“PPN 10% ini tidak kami kenakan kepada konsumen, tetapi kami yang menanggungnya sehingga memberatkan para pengusaha. Selain itu, kami juga kesulitan bersaing dengan biro perjalanan asing,” ujarnya saat dihubungi beberapa waktu lalu.

Menurutnya, wisman lebih memilih menggunakan biro perjalanan yang ditawarkan di negara mereka karena biayanya lebih kompetitif.

 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper