Bisnis.com, JAKARTA – Tensi perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan China disebut akan berdampak pada ekonomi setiap negara. Singapura bahkan mungkin perlu meninjau kembali proyeksi pertumbuhannya untuk tahun depan.
“Dalam jangka pendek, dampaknya belum sepenuhnya terasa,” ujar Menteri Keuangan Singapura Heng Swee Keat dalam sebuah wawancara dengan Bloomberg Television.
“Namun setiap tensi perdagangan yang berdampak pada globalisasi akan memengaruhi semua pihak, termasuk negara-negara yang terlibat langsung, dan juga kerugian tambahan di semua negara.”
Negara-negara di Asia Tenggara memang sedang bergulat dengan badai tantangan ekonomi yang kuat, pertikaian tarif antara AS dan China, pengetatan kebijakan moneter global, penguatan dolar AS, dan risiko arus modal keluar (capital outflow).
Singapura, pusat perdagangan internasional yang mendapat manfaat dari arus perdagangan dan pergerakan barang antara pusat manufaktur di kawasan itu, AS, dan Eropa, telah mengalami penurunan ekspor tahun ini.
Diakui oleh Heng, proyeksi pertumbuhan ekonomi Singapura untuk 2019, yang belum diumumkan, mungkin harus dikaji ulang saat perselisihan perdagangan antara dua negara berkekuatan ekonomi terbesar di dunia tersebut meningkatkan ketidakpastian dan menghambat investasi bisnis.
Menurutnya, badan-badan ekonomi dan bank sentral telah mencermati bisnis-bisnis dan meninjau apakah proyeksi ekonomi perlu diubah atau direvisi. Adapun proyeksi pertumbuhan untuk tahun ini dipertahankan di 2,5%-3,5%.
“Kami mulai melihat efek atas ini dalam hal ketidakpastian yang meningkat dan berkurangnya investasi oleh bisnis-bisnis,” tutur Mantan Direktur Pelaksana Monetary Authority of Singapore (MAS) ini.
Proyeksi pertumbuhan untuk tahun depan, jelasnya, bergantung pada bagaimana situasi terus berkembang dalam beberapa bulan ke depan karena banyak keputusan investasi yang harus diambil akan terpengaruh.
“Setelah 2019, perang perdagangan yang berkepanjangan akan sangat mengganggu rantai pasokan global, memunculkan tantangan pertumbuhan jangka panjang bagi negara-negara saat batas produksi global berkurang,” tambah Heng, seperti dilansir dari Bloomberg.
Sengketa perdagangan antara China dan AS disebutnya menimbulkan kekhawatiran di kalangan bisnis serta pertanyaan bagaimana dapat membangun ketahanan ke dalam rantai pasokan mereka.
“Negara-negara di kawasan ini harus melakukan yang terbaik dari situasi yang semrawut ini dengan mempercepat pengembangan infrastruktur, konektivitas, dan area lainnya. Jika tidak, rantai pasokan menjadi sangat tidak efisien, dan kita semua akan merasakan akibatnya,” lanjut Heng
Di sisi lain, penggerak struktural Asia dari pertumbuhan disebutnya kuat, dengan sejumlah faktor di antaranya populasi, peningkatan kelas menengah, multilateralisasi dan perdagangan bebas, serta semakin banyak upaya dalam teknologi dan inovasi.
Pemerintah, ujarnya, berharap untuk memosisikan Singapura sebagai simpul Asia global untuk teknologi, inovasi, dan usaha.
“Perlindungan kami atas kekayaan intelektual dan kepercayaan yang dimiliki orang-orang di Singapura sebagai pusat bisnis sangat penting,” terang Heng.
Sementara itu, terkait anggaran, Heng menyatakan bahwa area prioritas Singapura adalah tetap untuk restrukturisasi ekonomi, dengan inovasi menjadi bagian penting dari upaya para pembuat kebijakan. Area besar lainnya adalah pembangunan infrastruktur, dengan urbanisasi menjadi tren utama di Asia.