Bisnis.com, NUSA DUA -- Gubernur bank sentral negara-negara di dunia menyoroti berbagai upaya untuk menangani masalah perang dagang yang dikhawatirkan dapat memicu krisis ekonomi dan keuangan ke depannya.
Dalam Seminar Perbankan Internasional G30 di Nusa Dua, Bali, sejumlah bank sentral menyebutkan berbagai upaya dan langkah yang harus dilakukan tiap pemangku kebijakan.
Gubernur Bank of Japan (BOJ) Haruhiko Kuroda mengingatkan aksi proteksionisme dalam ketegangan perdagangan harus diperhatikan karena pertumbuhan ekonomi akan terganggu. Bahkan, kondisi ini akan meningkatkan harga barang kebutuhan rumah tangga sehingga dapat memicu inflasi.
"Oleh karena itu, upaya melanjutkan dialog internasional dibutuhkan," ungkapnya, Minggu (14/10/2018).
Kepada semua pemangku kebijakan, Kuroda juga mengingatkan untuk waspada terhadap perkembangan utang serta peningkatan gejolak politik secara tiba-tiba, dengan menjaga kebijakan makroekonomi yang kredibel dan tegas.
Di kondisi yang penuh gejolak ini, dia meminta para stakeholder untuk melakukan stress test, terutama bagi negara-negara emerging market yang rentan.
"Emerging market yang secara fundamental baik tetap harus melakukan langkah tersebut untuk menghindari tekanan," ujarnya.
Gubernur People's Bank of China (POBC) Yi Gang mengungkapkan perang dagang memiliki risiko yang besar.
"Saya pikir perdagangan menjadi penyebab utama timbulnya ekspektasi negatif dan ketidakpastian global," tuturnya.
Terkait dengan dampaknya ke China, Yi menyatakan semua pihak harus melihat struktur ekspor Negeri Panda.
Perusahaan swasta yang ditopang oleh dana asing mendominasi ekspor China, yakni sekitar 45%. Sementara itu, swasta dalam negeri berkontribusi sebesar 45% dan BUMN China sebesar 10%.
Dari struktur ini, dia menegaskan semua pihak dapat melihat siapa yang akan terkena banyak dampak dari perang dagang.
POCB juga menyatakan China tengah menyoroti defisit neraca jasa meski ekspor jasa AS ke China tumbuh signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
"Dalam satu dekade terakhir surplusnya tumbuh sekitar 20% per tahun dan sekarang AS memiliki sekitar US$40 miliar surplus per tahun dari perdagangan jasa," sebut Yi.
Tidak hanya itu, banyaknya masyarakat China yang bersekolah di AS menambah beban defisit di sektor pendidikan. Data statistik pada 2015 menunjukan jumlah anak usaha dari perusahaan AS yang beroperasi dan menjual barangnya di China mencapai US$220 miliar, angka yang diakui sangat besar.
POBC juga mengakui China harus membayar hak kekayaan intelektual ke seluruh dunia sebesar US$29 miliar dan persentase terbesar dari nilai tersebut dibayarkan ke AS.
Melihat hal ini, dia menuturkan China tidak akan tinggal diam dan siap melakukan reformasi. Hal ini dilakukan dengan memperketat hak kekayaan intelektual, mendorong kompetisi BUMN yang netral, serta memperkuat sektor jasa keuangan.
Yi juga menegaskan harus ada solusi yang tepat untuk kondisi perdagangan dunia saat ini. Dia tidak menampik adanya dampak yang lebih luas dari perang dagang terhadap negara-negara yang menjadi partner dagang China.
China mengklaim kesediaan mencari solusi konstruktif pun sudah disampaikan ke AS.
"Karena solusi yang konstruktif lebih baik daripada perang dagang," ucap Yi.
Sementara itu, Gubernur Bank of Brazil Ilan Goldfajn menuturkan proses normalisasi dari suku bunga di negara berkembang menjadi hal yang seharusnya terjadi. Proses ini seharusnya tidak menimbulkan gejolak berlebihan jika ketegangan perdagangan tidak muncul.