Bisnis.com, JAKARTA - Industri Pengolahan Susu dinilai kian selektif dalam menyerap hasil produksi peternak lokal setelah kewajiban bermitra dihilangkan.
Penghapusan kewajiban industri pengolahan susu (IPS) itu tercantum dalam Permentan Nomor 33 Tahun 2018 Tentang Penyediaan dan Pembelian Susu .
Ketua Asosiasi Peternak Sapi Perah Indonesia (APSPI) Agus Warsito mengatakan pengaruh Permentan yang menghilangkan kewajiban IPS untuk bermitra dengan peternak memang belum terasa signifikan. Namun, gejalanya sudah mulai terasa dengan parameter persyaratan yang makin diperketat.
“Misalnya dari angka kuman yang terkandung dalam susu hasil produksi. Maksimal jumlah angka kuman yang ditoleransi adalah satu juta. Di atas itu, meski cuma lebih satu [angka] saja, susu kami akan ditolak,” katanya kepada Bisnis (25/9/2018).
Menurutnya standard parameter tersebut wajar dilakukan kalau diimbangi dengan bantuan pengadaan infrastruktur atau fasilitas pendingin agar target susu peternak dapat terealisir. Namun, tambahnya, di lapangan kondisinya tidak demikian.
Padahal menurut Agus sebelum Permentan tersebut direvisi, IPS masih memberikan toleransi kepada peternak. Dia menuturkan koperasinya sekarang hanya dapat menyetor ke IPS sebanyak 15—17 ton susu sedangkan sebelumnya dapat mencapai 30 ton.
Menurutnya, solusi terbaik adalah penyediaan infrastruktur berupa pendingin sampai di tingkat peternak supaya parameter angka kuman dapat terpenuhi. Saat ini unit pendingin belum tersedia di tingkat peternak dan IPS dengan tegas tidak mau berkompromi. “Ini memberatkan peternak sapi perah.”
Susu hasil produksi yang ditolak IPS, lanjutnya, akan diupayakan untuk dititip kepada koperasi lain dengan harapan susu tersebut masih akan diterima oleh IPS yang berbeda. Namun kalau tetap ditolak maka susu akan dibuang karena tidak bisa lagi diolah menjadi produk turunan lainnya.
“Kalau bisa diselamatkan antar koperasi dengan saling membantu ya alhamdulillah. Kalau tidak bisa diolah lagi ya dibuang,” katanya.
Menurut data Badan Pusat Statistik impor komoditas susu mencapai US$55 juta pada Agustus 2018 atau melompat 73,3% dibandingkan dengan bulan sebelumnya sebesar US$31,7 juta.
MASIH JALAN
Ketua Dewan Persusuan Nasional (DPN) Teguh Boediyana mengatakan sampai dengan saat ini kemitraan masih dijalankan antara peternak dengan IPS. “Intinya, kemitraan sampai hari ini masih berjalan, tapi jumlah susu yang dihasilkan masih kecil bahkan menurun,” katanya kepada Bisnis, Selasa (25/9).
Sayangnya, dia belum bisa memberikan data terperinci mengenai penurunan produksi SSDN itu. Sampai dengan saat ini Jawa Timur masih menjadi sentra produksi SSDN dilanjutkan dengan Jawa Barat, Jawa Tengah dan Yogyakarta. Rata-rata peternak juga masih bisa memenuhi persyaratan yang diinginkan oleh IPS.
Adapun, untuk harga yang diberikan kepada peternak tergantung pada kualitas susu, untuk susu yang baik dihargai Rp6.500 per liter dan susu yang jelek dihargai dibawah Rp5.000 per liter.
“Pendingin susu sangat dibutuhkan dan koperasi [peternak] harus punya. Pengadaan pendingin oleh koperasi pun [harus] dibantu dari IPS dengan pola kemitraan atau menyicil,” katanya.
Sekarang ini, lanjut Teguh, yang paling penting adalah pemerintah menyadari bahwa industri sedang darurat susu nasional.
Menurutnya dengan peningkatan impor susu oleh IPS harusnya menjadi momentum yang tepat untuk pemerintah sadar kalau impor susu, meskipun nilainya kecil yaitu Rp15 triliun, bisa disubtitusi dengan produksi dalam negeri dan membuka lapangan pekerjaan.
“[Harus] sadar sedang darurat jadi ada upaya peningkatan populasi dan produktivitas SSDN. Justru ini kesempatan kalau bisa menekan impor maka menekan devisa di sisi lain dan memberdayakan masyarakat desa dan membuka lapangan kerja,” katanya.
Pada 2020, Teguh meyakini konsumsi susu sapi akan terus meningkat seiring dengan pertambahan penduduk, peningkatan pendapatan dan sadar gizi masyarakat. Pada saat yang sama, produksi SSDN diramalkan hanya bisa memenuhi 10%--15% kebutuhan.