Bisnis.com, JAKARTA - Harmonisasi aturan pengawasan peredaran daging celeng antar instansi terkait segera diberlakukan.
Kepala Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani Kementerian Pertanian Agus Sunanto mengatakan babi hutan atau celeng yang selama ini dikenal sebagai hama bagi pertanian sebenarnya juga berpotensi mengancam kesehatan masyarakat karena tidak ada jaminan sanitasi dan higenitas. Apalagi banyak oknum yang sengaja memperdagangkannya secara ilegal.
"Untuk mengantisipasi fenomena sosial dan pengendalian peredaran daging celeng, Badan Karantian Pertanian dan dinas terkait menginisiasi harmonisasi aturan bagi pengawasan peredaran mulai dari tempat asal sampai ke tempat tujuan," tambah Agus, belum lama ini.
Setiap instansi terkait melakukan pembinaan dan pengawasan yang berkelanjutan dengan mekanisme pengawasan yang secara koordinatif dan berbasis teknologi informasi sehingga upaya penyalahgunaan daging celeng bisa dihindari dan juga pemanfaatan daging celeng sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku.
Ada 3 hal peraturan yang dijaga pada lalu lintas peredaran daging celeng yakni, pertama kepatuhan terhadap UU No 16/92 ttg Karantina Hewan, Tumbuhan dan Ikan. Ke dua perlindungan terhadap hak konsumen untuk pangan yang sehat. Seperti diketahui, celeng dapat menularkan penyakit swine influenza ke manusia.
Bahkan bakteri yang terdapat pada kulit celeng dapat menyebabkan ruam ruam di kulit yang disebut diamond skin disease. Yang patut sangat diwaspadai adalah saat daging celeng diolah secara tidak sempurna, dicampur dengan bahan lain menjadi kornet, bakso atau sosis bisa sebabkan ancaman penyakit sistiserkosis yang bersifat zoonosis bahkan ke otak manusia. "Dan yang terakhir, adalah tidak terjadinya pelanggaran soal aman, sehat dan utuh.”
Agus mengatakan akan melanjutkan proses harmonisasi bersama dengan Kementerian Kehutanan dan Majelis Ulama Indonesia. Dengan begitu dia berharap dapat lahir sebuah Peraturan Menteri dalam enam bulan ke depan yang mengikat tentang pemanfaatan daging celeng.
Daging celeng itu harus diperlukan secara khusus tidak bisa secara umum. Pertama, celeng tidak termasuk hewan yang dibudidayakan. Kedua, yang mengkonsumsi masyarakat tertentu dan tidak semua orang konsumsi nah ini yang menimbulkan praktik pengoplosan menjadi olahan. Sepakat kita tata biar daging celeng bisa dimanfaatkan dengan tetap menjaga ekosistemnya, konsumsi sesuai aturan dan yang tidak mengonsumsi aman," katanya.
Setelah permen terbit diharapkan operasional di lapangan menjadi lebih baik terkait perburuan celeng, pemrosesan hingga pendistribusiannya. Tidak seperti sekarang yang menjadi komoditas abu-abu diingingkan tapi tidak ditata dengan jelas.
"Aturan khusus tentang peredaran daging celeng agar tepat penggunaannya dan tidak membahayakan bagi kesehatan masyarakat, kiranya dapat didukung semua pihak," kata Agus.
Berdasarkan catatan Bagian Penegakkan Hukum Badan Karantina Pertanian pada 2017 hanya 3 ton daging celeng berhasil ditangkap dan musnahkan namun terjadi peningkatan penyelundupan pada 2018 sebanyak 13.1 ton. Adapun masing-masing 4,6 ton di tangkap di Karantina Cilegon dan 3,5 ton di Karantina Lampung.