Bisnis.com, JAKARTA - Pengembang menilai keterbatasan lahan menjadi alasan utama pengembang swasta sulit untuk ikut mengembangkan rumah susun sederhana milik atau rusunami.
Direktur PT Gading Development Tbk Cahyo Satrio Prakoso mengatakan lahan menjadi kriteria utama ketertarikan pengembang swasta untuk ikut terjun membangun rusunami yang dikhususkan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
"Kalau tidak ada tanahnya ya kami susah, makanya untuk Gading Development lebih masuk ke anami," ujar Cahyo kepada Bisnis, Rabu (13/9/2018).
Anami merupakan apartemen sederhana milik yang merupakah hunian vertikal satu tingkat lebih di atas dari rusunami dengan kisaran harga dimulai dari Rp10 juta hingga Rp16 juta per meter persegi.
Ia mencontohkan penetapan harga jual lahan untuk sebuah rusunami dengan efisiensi perhitungan termasuk biaya konstruksi, konsultan, perizinan, operasional, marketing, dan promosi mencapai Rp8,8 juta per meter persegi, sedangkan berdasarkan peta sebaran harga tanah di Jakarta dengan harga tersebut hanya terdapat di kawasan pinggiran Jakarta Timur yaitu Cakung.
Oleh karena itu pembangunan rusunami kian termarginalkan untuk menyesuaikan harga lahan pencarian profit bagi pengembang.
Baca Juga
Namun, Cahyo mengatakan jika semakin terpinggirkan menimbulkan masalah baru yaitu pola pikir masyarakat pinggiran yang belum tertarik untuk menjadikan hunian vertikal menjadi rumah pertama.
"Masyarakat membeli apartemen itu umumnya untuk rumah kedua sehingga ada PR tambahan kami harus edukasi masyarakat kota dan daerah untuk membeli rumah pertama itu ya apartemen," kata dia.
Terkait keterbatasan lahan, sesungguhnya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) belum lama ini meluncurkan skema kerjasama pemerintah dan badan usaha (KPBU), salah satunya dengan penyediaan lahan pengembangan oleh pemerintah dan pembangunan yang dikerjakan oleh swasta.
Cahyo mengaku tertarik terhadap skema KPBU yang ditawarkan Kementerian PUPR hanya masih memerlukan pertimbangan yang sangat matang untuk akhirnya menggunakan skema tersebut.
"KPBU sebenarnya menarik cuma masalahnya adalah kalau itu lahan pemerintah itu kan HPL, sehingga nanti HGB di atas HPL, pasti orang akan berpikir dua kali padahal NJOP setiap tahunnya naik tetapi harganya tidak akan naik-naik, ditambah lagi swasta juga harus memikirkan profitablenya," papar Cahyo.