Bisnis.com, JAKARTA – Konsultan properti menilai pelemahan industri properti dalam beberapa tahun terakhir mendorong penurunan harga untuk apartemen seken menjadi lebih murah di wilayah Jakarta.
Kepala Departemen Riset Savills Indonesia, Anton Sitorus mengatakan sektor apartemen di Jakarta memang mengalami penurunan volume penjualan pada semester I/2018 ini. Pasalnya, angka penjualan selama semester pertama ini sekitar 1.350 unit, di bawah semesterI/2017 yang di atas 5.000 unit.
Dia menyebut total apartemen yang baru dilaunching di Jakarta hanya sekitar 2.000 unit. Kondisi ini membuat tawaran untuk apartemen kelas middle-upper atau menengah ke atas memasang harga yang kompetitif.
“Akhirnya, investor tidak mau membeli properti kondominium, volume pun jadi agak menurun walaupun di sisi lain pasokan yang masuk ke pasar paling tinggi,” jelas Anton di Panin Tower Senayan, Rabu (29/8/2018).
Anton memberi gambaran, belakangan ini sudah mulai marak ditemukan harga apartemen di Jakarta sudah sama harga dengan di luar Jakarta yaitu Rp20 juta per m2. Awalnya, Jakarta memasang harga sekitar Rp35 juta per meter persegi sampai Rp40 juta per meter persegi. Dia memprediksi kondisi ini disebabkan oleh kondisi suplai yang banyak dengan angka penjualan yang relatif rendah.
“Jadi ini waktunya beli properti sih, bukan hanya gimmick. Mungkin mereka mulai jual aset dengan kondisi BU. Jadi ini memang baru fenomena saja, sudah ada harga apartemen seken yang murah di Jakarta,” terang Anton.
Baca Juga
Oleh sebab itu dia menilai end-user bisa segera melakukan transaksi pembelian apartemen di pasar sekunder (apartemen seken) selama aspek harga dan aksesibilitas terpenuhi. Dia optimistis dalam dua tahun mendatang saja, harga apartemen seken itu akan kembali melejit.
Anton menilai semakin banyak pengembang yang membutuhkan uang untuk bisa memutar kembali modal dan membiayai operasionalisasi bisnis. Dia bahkan memprediksi kondisi harga pasar sekunder yang murah ini akan berimbas ke pasar primer.
“Kita tak bisa melawan waktu, orang bisa bertahan seminggu, dua minggu, setahun, masih oke. Kalau sudah lima tahun, pengembang juga masih ada pengeluaran. Tidak hanya secondary, di primary bisa saja kalau developer kesulitan menjual dan tak memenuhi target cashflow dia harus kroscek harganya,” ungkap Anton.