Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

RI Sering Kalah di Sidang WTO, Apa Penyebabnya?

Sikap restriktif dalam membuat kebijakan dagang internasional serta kurangnya kemampuan dalam menangani kasus sengketa dagang menjadi penyebab utama Indonesia lebih banyak kalah di sidang World Trade Organization (WTO) selama 4 tahun terakhir.
Kasus-kasus yang melibatkan Indonesia di WTO selama 2014 hingga 2018./Bisnis-Radityo Eko
Kasus-kasus yang melibatkan Indonesia di WTO selama 2014 hingga 2018./Bisnis-Radityo Eko

Bisnis.com, JAKARTA — Sikap restriktif dalam membuat kebijakan dagang internasional serta kurangnya kemampuan dalam menangani kasus sengketa dagang menjadi penyebab utama Indonesia lebih banyak kalah di sidang World Trade Organization (WTO) selama 4 tahun terakhir.

Sepanjang 2014—2018, terdapat 8 sengketa dagang melibatkan Indonesia yang berakhir di meja WTO melalui panel Dispute Settlement Body (DSB). Dari 8 kasus itu, 5 di antaranya telah diputuskan, dan hanya 1 kasus yang dimenangkan oleh Indonesia. (lihat grafis)

Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo mengatakan, dalam 4 tahun terakhir, RI cenderung lebih banyak memperkenalkan kebijakan dagang yang bersifat restriktif. Kebijakan tersebut, lanjutnya, dianggap melenceng dari kesepakatan WTO.

“Mengapa Indonesia? Karena kita dianggap negara yang berhasil dengan baik melalui krisis 2007—2008, anggota G-20, dan negara berpengaruh di Asean. Poin-poin itu yang membuat kita mudah disorot kebijakannya,” kata Iman kepada Bisnis.com, baru-baru ini.

Dia berpendapat, sejumlah negara maju  seolah tidak ingin sikap restriktif  Indonesia dicontoh negara berkembang lain. Fakta itu, sebutnya, adalah penyebab Indonesia acap kali digugat melalui  DSB WTO dan sering kali kalah saat persidangan.

Direktur Pengamanan Perdagangan Kemendag Pradnyawati menilai, kekalahan Indonesia saat bersidang atau mengajukan banding di panel DSB, disebabkan oleh kurangnya kapasitas dan kapabilitas  RI dalam menangani sengketa dagang di WTO.

Kendati demikian, dia mengklaim, pemerintah telah melakukan sejumlah cara untuk tetap mengamankan aktivitas perdagangan luar negeri Indonesia. Salah satunya adalah melakukan penanganan pada kasus tuduhan dumping, subsidi, safeguard dan hambatan nontarif. 

Melalui sejumlah skema perlindungan dagang atau trade remedies tersebut, dia mengklaim Indonesia berhasil mengamankan ekspor senilai US$601,7 juta atau Rp8,6 triliun pada 2018.

Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Stuides (CSIS) Yose Rizal Damuri menyebutkan, selama Indonesia dapat menjelaskan bahwa kebijakan dalam negeri merupakan bentuk dari trade remedies, sebenarnya RI memiliki posisi yang kuat dalam menghadapi gugatan negara mitra. Sebab, menurutnya, trade remedies sebenarnya merupakan instrumen kebijakan yang dizinkan oleh WTO.

“Untuk itu, pemerintah perlu cermati, seperti apa perkembangan terbaru kebijakan trade remedies di WTO. Supaya, ketika dikenakan tuntutan yang sebenarnya adalah upaya perlindungan dagang, Indonesia dapat mempertahankan argumennya,” ujarnya.

PERSOALAN POKOK

Terpisah, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Bidang Hubungan Internasional Shinta W. Kamdani  mengatakan, Indonesia sering masuk di meja hijau WTO lantaran bayaknya aturan dan undang-undang yang belum selaras dengan kesepakatan WTO.

Fakta itu, menurutnya, setidaknya terbukti pada kasus sengketa impor produk hortukultura, hewan, dan produk hewan dari Amerika Serikat yang baru-baru ini kembali mengemuka.

Shinta menjelaskan, kondisi tersebut menjadi dilema tersendiri bagi RI. Pasalnya, bukan hal yang mudah bagi Tanah Air untuk mengubah aturan dan kebijakan di dalam negeri agar selaras dengan kesepakatan WTO.

Terlebih, apabila aturan tersebut berbentuk undang-undang, perlu waktu yang panjang dan proses yang rumit untuk merevisinya.

“Banyak aturan, kebijakan atau undang-undang yang belum in line atau malah berlawanan dengan WTO. Nah, kalau mau kita aman dari gugatan melalui WTO, Indonesia harus ubah itu aturan-aturan. Sebelum kita sempat, kita malah sudah digugat lebih dulu,” jelasnya.

Selain itu,  lanjutnya, biaya yang dikeluarkan oleh Indonesia untuk memenagkan proses sidang di WTO tidaklah sedikit. Indonesia cenderung pasrah dan memilih melakukan lobi-lobi ke negara penggugat, lantaran mahalnya biaya merekrut pengacara kelas wahid untuk memenangkan proses sidang.

“Indonesia sendiri belum punya orang yang memang benar-benar jago untuk menangani hukum perdagangan internasional. Jadi sering kali kita pasrah saja [dengan hasilnya], toh aturan di dalam negeri juga cukup sulit direvisi,” paparnya.

Senada, Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal menganggap kekurangan Indonesia ada pada sisi negosiator. Menurutnya, ketika menghadapi proses peradilan sengketa dagang, perwakilan Indonesia tidak siap dalam menunjukkan bukti-bukti pembelaan.

Kelemahan negosiator Indonesia, katanya, ada pada kelengkapan data untuk membuktikan kebijakan yang diambil RI telah tepat. Tak heran jika Indonesia kerap takluk dalam proses peradilan awal maupun ketika melakukan banding.

“Untuk itu, perlu ditempatkan orang-orang yang memang kompeten di bidang tersebut [hukum perdagangan internasional]. Perusahaan Indonesia kan banyak tuh yang menang di sengketa internasional, mengapa tidak ambil dari sana?” jelas Fithra.

Alhasil, lanjutnya, strategi impor dan ekspor Indonesia guna mendongkrak perekonomian nasional menjadi terganggu. Saat ini, pendekatan melalui proses negosiasi menjadi salah satu harapan Indonesia untuk menghadapi kasus sengketa dagang.  

Dari sisi pelaku usaha, sering kalahnya Indonesia ketika digugat di WTO dikhawatirkan membawa dampak merugikan bagi industri domestik.

Ketua Umum Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Aryan Warga Dalam mengatakan, belum selesainya proses  gugatan produk kertas A4 Indonesia ke Australia dan kalahnya RI menghadapi AS di WTO terkait produk coated paper, membuat volume dan nilai ekspor Indonesia gagal mencapai level maksimal.

“Kami sasar negara non tradisional, supaya target pertumbuhan moderat ekspor kami terjaga tahun ini,” jelas Aryan.

Menurut Aryan, kendati volume ekspor pulp dan kertas ke AS tidak terlalu besar (100.000 ton per tahun), tuduhan dumping dari Paman Sam dianggap memengaruhi ekspor secara keseluruhan.

Dia khawatir, pemberlakukan anti-dumping yang dilakukan oleh Washington dan yang juga diikuti oleh Canberra tersebut berpotensi diikuti oleh negara lain.

Ketua Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Teguh Boediono mengatakan, konsistensi pemerintah terkait importasi daging diperlukan. Dia melihat, gugatan Brasil terkait impor daging sapi Indonesia disebabkan, karena RI memperbolehkan daging kerbau India masuk.

“Padahal, India itu sebelumnya tidak masuk dalam negara yang bebas dari penyakit kuku dan mulut. Akan tetapi impor dari negara itu dibuka pada 2016 lalu,” papar dia

Koordinator Koalisi Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK) Zulvan Kurniawan mengkhawatirkan kemenangan Australia dalam sengketa sengketa perdagangan besar atas undang-undang pengemasan tembakau polos dapat memicu kampanye serupa di Indonesia.

"Yang paling kami khawatirkan adalah dampak psikologisnya, dapat memicu kampanye serupa dalam hal kemasan rokok," ujarnya. Padahal, sebutnya, industri rokok dalam negeri saat ini tengah mengalami masa-masa sulit akibat kebijakan cukai rokok dan penyederhanaan pengenaan tarif cukai.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper