Bisnis.com, JAKARTA – Sektor perkebunan dan properti dipandang masih menjadi penyumbang konflik lahan terbanyak dan menghambat proses reforma agraria.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengatakan berdasar catatan akhir tahun KPA, terdapat 758 konflik agraria sepanjang 2017. Angka ini, menurut Dewi, meningkat 50% dari tahun sebelumnya. Konflik agraria itu terjadi hampir di semua sektor. Sektor yang mendominasi adalah perkebunan dan properti.
“Ada perkebunan, kehutanan, pembangunan infrastruktur, pesisir kelautan, tambang, dan pertanian. Yang tertinggi pertama adalah perkebunan yang posisi kedua itu ada properti,” terang Dewi di The Akmani Hotel, pekan lalu.
Dewi menyebut konflik agraria ini menimpa bukan hanya masyarakat, tetapi juga lahan milik swasta ataupun lahan milik badan usaha milik negara. Menurut Dewi, untuk sektor properti, aduan atas konflik agraria berkaitan dengan pembangunan reklamasi, real estate, dan residensial.
Dewi menyebut, selain masalah pembangunan reklamasi dan realestat, adalah soal alih fungsi lahan subur pertanian dikonversikan ke lahan non pertanian, termasuk untuk properti. Ada pula pengaduan lain seperti arena tambang yang menggunakan lahan pertanian masyarakat pedalaman. Oleh sebab itu, seringkali konflik agraria ini lintas sektor. Misalnya kawasan hutan lindung diubah menjadi perkebunan.
Baca Juga
Peringkat ketiga pengaduan konflik agraria terbanyak adalah pembangunan infrastruktur. Misalnya saja sejak untuk membangun bandara dan jalur kereta api. Saat ini, kata Dewi, KPA melakukan pendampingan litigasi dan non litigasi.
“Namun sayangnya konflik ini tidak ada penyelesaian. Ada yang melapor, tetapi tidak ada lembaga yang menyelesaikan konflik agraria,” ujar Dewi.
Oleh sebab itu, Dewi menyebut usulan KPA adalah meminta adanya lembaga penyelesaian konflik agraria yang langsung di bawah presiden. Dia beralasan, mayoritas penyebab konflik agraria adalah perizinan yang dikeluarkan oleh pejabat publik tingkat daerah dan pusat. Oleh sebab itu kesalahan pejabat publik hanya bisa dikoreksi oleh presiden.
“Mereka tidak mungkin mengkoreksi keputusan mereka sendiri, apalagi ini lintas sektoral, melibatkan kementerian. Otomatis yang bisa hanyalah presiden,” jelas Dewi.