Akhir pekan lalu, saya datang ke Rumah Perubahan, menghadiri undangan Prof Rhenald Kasali, yang meluncurkan buku berjudul The Great Shifting. Banyak tamu yang hadir, mulai dari para menteri, bankir, politisi, hingga pengusaha.
Seperti biasa, buku Prof Rhenald Kasali sangat up-to date, mewakili keadaan. Ia mengisahkan pergeseran yang luas dan cepat, antara lain akibat kemajuan teknologi. Pergeseran berlangsung secara besar-besaran, merasuki seluruh aspek kehidupan.
Bukan sekadar pergeseran perdagangan ritel konvensional ke e-commerce. Tidak hanya di bidang ekonomi, tetapi juga sosial politik, bahkan pemerintahan. Dan dampaknya pun luar biasa massive.
BACA: Kaji Gelombang Disruptif, Rhenald Khasali Luncurkan Buku The Great Shifting
Memang, teknologi tak hanya ibarat pedang bermata dua, bukan pula trisula atau tombak bermata tiga. Teknologi adalah pedang bermata banyak. Atau bahkan seperti hulu ledak. Apalagi di era disrupsi digital ini. Ada berkah, ada pula bencana yang ditimbulkannya.
Namun, saya ingin melihat dari sisi berkahnya. Yang pasti, dari pergeseran bisnis saja, kini banyak orang kaya baru. Bahkan anak-anak muda. Siapa nyangka, pemuda bernama Marck Zukerberg tiba-tiba melesat menyaingi senior yang jauh di atasnya dalam kancah bisnis Amerika Serikat, Bill Gates. Juga Jack Ma yang ujug-ujug, menyalip Li Kha Sing, taipan senior yang telah malang-melintang di dunia bisnis di China.
Di Indonesia, muncul anak-anak muda yang tiba-tiba masuk hitungan pengusaha terkaya. Merujuk laporan majalah GlobeAsia Juni lalu, empat founder unicorn Indonesia, yakni Traveloka, Tokopedia, Bukalapak dan Go-Jek masuk dalam jajaran 150 orang terkaya.
Usia mereka, bahkan masih tergolong muda, kebanyakan di bawah 40 tahun. Merujuk istilah anak muda sekarang, kaum millennials. Di urutan 146 ada Ferry Unardi (30), pendiri Traveloka, dengan kekayaan US$145 juta. Lalu founder Tokopedia William Tanuwijaya (36), yang berada di urutan 148, ditaksir memiliki kekayaan US$130 juta. Achmad Zaky (31), founder Bukalapak, berada di urutan 149 dengan taksiran kekayaan US$105 juta, dan disusul founder Go-Jek Nadiem Makarim (33) di peringkat 150 dengan taksiran kekayaan US$100 juta.
Luar biasa. Mereka ‘menjelma’ menjadi kaya, seolah dalam waktu tiba-tiba. Tak lama lagi, mereka berpeluang menjadi konglomerat muda.
***
Tentu, pencapaian mereka itu bukanlah tiba-tiba. Mereka mengambil pilihan bisnis yang relevan dengan perkembangan teknologi dan perilaku manusia sekarang, yang berubah begitu cepat.
Nadiem, Zaky, William dan Unardi adalah segelintir contoh, pengusaha muda yang mampu mengusung cara berfikir masa depan ke dalam praktik bisnis hari ini.
Maka, berubah adalah keniscayaan. Berpindah pun adalah keniscayaan. Merujuk Prof Rhenald, kini dunia usaha menghadapi medan baru yang sama sekali tidak dikenal. Namun, banyak pelaku usaha yang masih gagap dan tetap menggunakan cara berfikir kemarin dalam menghadapi kenyataan hari ini.
Pelaku lama, yang berkecimpung dalam organisasi lama, terbelenggu oleh pemikiran-pemikiran lama. Mereka terkaget-kaget oleh ide-ide baru, mind-set baru, skill-set baru, dan kompetensi baru.
Akibatnya, dalam lingkungan yang kian disruptif, situasi saling menyalahkan kerap terjadi, karena perilaku baru belum sepenuhnya terbentuk. Prof Rhenald menyebutnya sebagai “progress paradox”, paradoks kemajuan. Seolah-olah mengalami kemunduran, ketika sebenarnya terjadi kemajuan.
Padahal sejatinya, kita tidak bisa lagi menggunakan cara berfikir kemarin, untuk menghadapi lawan-lawan, atau kompetitor, yang membawa cara berfikir hari esok yang digunakan hari ini.
Seperti cerita founder Grup Lippo, Mochtar Riady, saat didaulat berbicara oleh Andy Noya, host acara talkshow televisi Kick Andy.
Menurut Pak Mochtar, bisnis yang digelutinya terus berubah. Kini tak cukup lagi bicara “pohon”, tetapi perlu melihat “hutan”. Analogi itu disampaikannya kepada CEO Hypermart yang baru, Elliot J Dickson, saat diundang pertamakali untuk ngobrol tentang rencana masa depan Hypermart.
Mochtar mengatakan, melihat situasi yang dihadapi Hypermart –salah satu lini bisnis ritel Grup Lippo— ibarat melihat hutan. Di tengah disrupsi danshifting bisnis saat ini, kelompok usaha itu tidak hanya mengalami tekanan vertikal, di mana harus menghadapi persaingan dari atas ditekan oleh menjamurnya e-commerce, tetapi juga menghadapi tekanan dari bawah oleh toko-toko komunitas (confenience store) seperti Alfamart dan Indomaret. Tekanan juga berasal dari pesaing horisontal, seperti hypermarket yang lain.
Maka, pendekatan bisnis pun mesti berubah, agar tetap relevan. Tidak bisa tidak. Kecuali membiarkan diri terhempas.
***
Shifting tidak hanya dalam dunia bisnis dan ekonomi. Bahkan dalam politik, dan birokrasi, banyak terjadi perubahan. Birokrat pun menggunakan pendekatan baru.
Menteri Komunikasi dan Informasi Rudiantara, yang turut berbicara dalam acara Rhenald Kasali, seolah mengamini bahwa mindset pemerintahan juga mesti berubah. Regulasi bukanlah tujuan, melainkan sekadar alat dalam mencapai tujuan.
Bacaan saya, Rudiantara hendak mengatakan perlunya fleksibilitas yang tinggi dalam regulasi. Karena peraturan bukan tujuan, melainkan alat untuk mencapai tujuan, maka bukanlah sesuatu yang tabu untuk terus menerus menyesuaikan aturan. Agar regulasi tetap dan selalu relevan dengan perkembangan jaman.
Regulasi pun perlu mengusung cara berfikir di masa depan menjadi regulasi hari ini. Kalau tidak, maka negara akan selalu dan terus ketinggalan.
Di Amerika dan bagian dunia yang lain, perubahan terus terjadi. Siapa menyangka, Presiden AS Donald Trump pun melancarkan apa yang disebut perang dagang, yang di masa dekade belakangan ini dianggap tabu. Karena dunia usaha global sebenarnya lebih suka stabilitas, ketimbang perubahan.
Namun, Presiden Trump mengacak-acak paradigma lama itu. “Aturan-aturan” lama ia dobrak. Perjanjian lama direnovasi. Bahkan bersitegang dengan China, yang di masa lalu adalah hal yang tabu, dan dihindari oleh Presiden AS sebelumnya. Karena akan menggoncang dunia.
Namun, Presiden Trump memainkan kartunya, dan saya yakin sudah tahu dosisnya, dimana manuvernya tidak perlu sampai membuat ekonomi dunia kolaps. Dampak jangka pendek tentu terasa, ekonomi dunia tertekan, mata uang banyak negara –termasuk Indonesia—mengalami depresiasi karena kecemasan perang dagang, dan dolar pulang mudik yang membuat banyak emerging markets merana.
Namun, saya menduga, seperti nonton film klasik, semua itu akan happy ending. Usai langkah Trump mengubah konstelasi ekonomi dan perdagangan dunia, situasi akan menuju kondisi normal yang baru. Kondisi new normal, atau keseimbangan baru.
BACA: Efek Perang Dagang Trump, Ekonomi Dunia Tetap Tumbuh
Begitu pula di dalam negeri, di Indonesia sendiri. Perubahan politik dan birokrasi memang begitu terasa. Banyak orang kaget-kaget, ketika orientasi pemerintahan, di bawah Presiden Jokowi, berdampak pada banyak hal.
Mulai dari isu perpajakan, cara mengelola anggaran, kebijakan subsidi, dan orientasi pembangunan yang berdampak luas ke berbagai sektor. Banyak pihak mengeluh, bisnis “seolah-olah” susah dan ekonomi “seakan-akan” tertekan.
Maka dipersepsikan, kondisi negara seolah-olah mengalami kemunduran, padahal mencatat banyak kemajuan. Barangkali itulah yang dimaksud “progress paradoks”, meminjam Prof Rhenald Khasali.
Dengan kata lain, saya melihat dari sudut pandang yang berbeda. Jangan-jangan, kita memang harus melalui periode yang tidak mudah itu, karena memang harus berubah. Bergeser dari ekonomi subsidi menuju ekonomi yang lebih mandiri.
Bergeser dari kebijakan konservatif menjadi lebih agresif. Dan, tidak menyerah kepada keadaan, atau takut melakukan perubahan untuk membuat kemajuan.
BACA: Kata Sri Mulyani, Pemerintah Siap Lakukan Penyesuaian Kebijakan
Saya senang mengutip pandangan pengusaha Teddy Permadi Rachmat, pendiri Grup Triputra, yang selalu optimis melihat perubahan yang terus dilakukan pemerintah belakangan ini. Soal pajak, misalnya, kata TP Rachmat, dunia usaha mesti lebih patuh lagi, demi mendukung negara.
Begitupun pentingnya Indonesia terus membangun infrastruktur, yang telah menajdi prioritas dalam empat tahun terakhir. Hasilnya pun mulai terlihat, dimana indeks logistik Indonesia melompat ke peringkat 46 tahun ini, dari peringkat 63 pada tahun lalu.
Imbauan TP Rachmat sepertinya ada benarnya. Setidaknya, Indonesia berubah menjadi lebih baik, meskipun melalui jalan yang terjal dan sulit.
Soal optimisme ini, TP Rachmat tampaknya tidak sendirian. Terbukti, menurut laporan International Business Report kuartal II/2018, yang dikeluarkan lembaga riset Grant Thornton, optimisme pebisnis di Indonesia ternyata berada pada level tertinggi di dunia, dengan skor 98%. Level ini berada di atas optimisme pebisnis Asean yang memiliki skor 64%, dan rerata di Asia Pasifik hanya 55%. Bahkan, pelaku bisnis di AS sendiri hanya memiliki skor optimisme 78%, dan China 79%.
Buat saya, optimisme adalah modal yang penting, untuk menghadapi berbagai risiko perubahan, agar senantiasa relevan. Bagi saya, lebih baik berani mengambil risiko meski hasilnya belum tentu maksimal, daripada takut berubah dengan hasil pasti: tidak menghasilkan apa-apa. Nah, bagaimana menurut Anda? (*)