Bisnis.com, JAKARTA — Kesepakatan mengenai waktu pelaksanaan post tariff masih menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia dan Australia dalam mewujudkan pakta dagang IA-CEPA.
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional (Dirjen PPI) Iman Pambagyo mengatakan, topik tersebut menjadi salah satu pengganjal terbesar kedua negara dalam menyelesaikan pakta dagang tersebut. Kini, persoalan tersebut tengah dibawa ke negara masing-masing untuk nantinya dinegosiasikan kembali.
“Persoalan saat ini ada di post tariff, kapan akan diturunkan menjadi 0%. Masih perlu kajian, apakah tiap tahun diturunkan hingga pada tahun ke-10 menjadi 0% atau langsung dipotong jadi 0% pada saat pakta dagang dilaksanakan,” ujarnya kepada Bisnis.com, baru-baru ini.
Kendati demikian, Iman menyatakan bahwa sebagian besar perbedaan pendapat antara kedua negara telah berhasil diselesaikan. Salah satunya mengenai permintaan Canberra agar bea masuk produk jasa ke Indonesia dibebaskan. Dia menyebutkan, permintaan itu telah disepakati oleh Indonesia.
Selain itu, dia juga mengklaim bahwa proses penyelesaian teks perjanjian dagang bebas IA-CEPA telah mencapai 85%. Menurutnya, di tengah proses negosiasi mengenai pelaksanaan post tariff, tim hukum kedua negara, secara paralel tengah melakukan verifikasi terhadap teks pakta dagang tersebut.
Iman meyakini, pakta dagang yang telah melalui negosiasi putaran ke-12 tersebut dapat diselesaikan pada tahun ini. Namun demikian, dia mengaku belum dapat memastikan pada bulan apa kerja sama perdagangan bebas bilateral tersebut dapat dirilis dan dilaksanakan.
Terpisah, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Hubungan Internasional Shinta W. Kamdani mengaku yakin perjanjian dagang tersebut dapat selesai pada tahun ini. Menurutnya kedua negara telah menemukan kesamaan pemahaman mengenai penerapan kerja sama dagang bebas. Salah satu topik yang telah terselesaikan adalah persoalan pendirian sekolah tinggi dari Negeri Kanguru di Tanah Air.
“Intinya kita saat ini tinggal menunggu pemerintah, kapan perjanjian dagang ini selesai. Pada dasarnya kami menilai kesepakatan yang ada sudah baik dan adil, tinggal eksekusinya saja,” kataya.
Adapun berdasarkan data Kementerian Perdagangan RI, ekspor Indonesia ke Australia pada kuartal I/2018 naik 13,1% secara year on year (yoy). Peningkatan ekspor tersebut berasal dari peningkatan ekspor di sektor nonmigas sebesar 15,2% dan sektor migas sebesar 5,7%.
Sementara itu, defisit neraca perdagangan Indonesia terhadap Australia pada kuartaI I/2018 smencapai US$757,9 juta atau turun 3,7% dari periode yang sama pada 2017 yang menembus US$787 juta.
Peningkatan ekspor nonmigas Indonesia pada kuartal I/2018 ditopang oleh ekspor produk manufaktur, yang meningkat 18,7% menjadi US$99,3 juta dari US$336,3 juta pada periode yang sama 2017. Selanjutnya, ekspor sektor industri primer juga tercatat meningkat 6,9% secara yoy menjadi US$120,7 juta.