Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

REVISI UU PNBP: Kuasa Menkeu Kian Besar, Boleh Mengubah Tarif

Sebentar lagi, pemerintah bakal memiliki Undang-Undang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang baru, di mana kewenangan Kementerian Keuanganselaku pengelola APBN, bakal kian besar.
Revisi Undang-Undang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan tarif PNBP./Bisnis-Husin Parapat
Revisi Undang-Undang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan tarif PNBP./Bisnis-Husin Parapat

Bisnis.com, JAKARTA — Sebentar lagi, pemerintah bakal memiliki Undang-Undang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang baru, di mana kewenangan Kementerian Keuangan—selaku pengelola APBN, bakal kian besar.

Revisi undang-undang tentang PNBP menjadi topik headline koran cetak Bisnis Indonesia edisi Kamis (19/7/2018). Berikut laporannya.

Hasil amendemen UU No. 20/1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak memberikan kewenangan kepada menteri keuangan untuk mengubah tarif. Padahal, dalam UU yang masih berlaku saat ini, perubahan tarif merupakan usulan dari instansi atau kementerian teknis terkait.

Selain itu, perubahan tarif PNBP juga bakal lebih fleksibel karena tak lagi harus diatur dalam UU atau peraturan pemerintah. Penentuan tarif cukup diatur melalui peraturan menteri.

Menkeu juga nantinya berwenang untuk menentukan target PNBP, menetapkan penggunaan dana PNBP, hingga meminta instansi pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan terhadap instansi PNBP, wajib bayar atau mitra instansi pengelola PNBP.

Menkeu juga berwenang menyusun kebijakan umum pengelolaan PNBP dan menyusun jenis PNBP kepada instansi pengelolanya.

Meski kewenangan menkeu semakin besar, amendemen UU No. 20/1997, yang telah dirampungkan oleh tim perumus di Panitia Kerja DPR untuk kemudian diketok dalam rapat paripurna, juga mengatur mekanisme perubahan, di mana menteri keuangan tetap harus berkoordinasi dengan pimpinan kementerian atau lembaga terkait serta menteri yang menyelenggarakan pemerintahan di bidang hukum.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui ke depan pengelolaan PNBP akan terus diperbaiki. Apalagi untuk saat ini, kontribusi PNBP jadi andalan untuk menutup pendapatan negara akibat shortfall penerimaan pajak maupun pembengkakan subsidi energi.

“Prospek penerimaan PNBP ini terutama ditopang oleh kenaikan harga ICP dan batu bara,” ungkap Sri Mulyani, Rabu (18/7).

Sebelumnya dilaporkan, pemerintah bakal menggunakan windfall profit dari kelebihan penerimaan pada PNBP dan PPh Migas akibat kenaikan harga minyak guna menambal subsidi energi yang membengkak hingga 173% menjadi Rp163,4 triliun, dari semula Rp94,53 triliun.

Amendemen UU PNBP yang sudah berumur 20 tahun memang menjadi prioritas pemerintah seiring dengan keterbatasan penerimaan negara yang mengakibatkan pemerintah tidak memiliki keleluasaan gerak dalam merencanakan dan mendorong pembangunan. Apalagi, performa penerimaan pajak juga bisa dibilang kurang menggembirakan.

Pada saat bersamaan, pemerintah memiliki sumber penerimaan di luar pajak, yaitu PNBP, yang kontribusinya cukup signifikan membiayai belanja negara. (Lihat infografis). Namun, selama ini, pengelolaannya belum maksimal, baik dari sisi mekanisme pemungutan, perhitungan, penyetoran dan sanksi.

Sumber utama penerimaan di luar pajak, yaitu PNBP yang berasal dari sumber daya alam, kekayaan negara yang dipisahkan, pelayanan langsung dari negara, dan pengelolaan barang milik negara.

Adapun, tarif PNBP yang paling potensial untuk dimaksimalkan adalah penerimaan dari sektor pertambangan. Sayangnya, berdasarkan kajian dari Komisi Pemberantasan Korupsi, triliunan rupiah dari penerimaan royalti dan iuran tetap sektor minerba banyak yang belum masuk ke kas negara dan berpotensi hilang.

Wakil Komisi XI DPR Achmad Hafiz Thohir mengatakan amendemen sudah selesai di tingkat perumusan. “Selanjutnya perlu disetujui oleh Komisi XI untuk kemudian dibawa ke paripurna.Jadi kemungkinan nanti Senin di bawa ke Komisi XI," jelasnya.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B. Sukamdani menilai revisi UU PNBP akan memudahkan dunia usaha.

"Bila ada keberatan dari pelaku usaha, pembahasannya hanya dengan Menkeu. Kalau melibatkan banyak pihak justru membuat permasalahan semakin kompleks. Pembahasan PNBP jadi semakin panjang dan seringkali melebar dari substansi permasalahan,” ungkapnya.

Adapun, Dirjen Sumber Daya & Perangkat Pos & Informatika (SDPPI) Ismail mengatakan pihaknya belum bisa berkomentar tentang dampak revisi Undang Undang Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) terhadap proses penetapan tarif PNBP. Adapun, dia menyebut pihaknya pasti akan mengikuti ketentuan yang baru bagaimanapun dampaknya.

"Belum bisa komentar. Kalau dari Kominfo tentu saja akan follow kebijakan yang akan ditetapkan," ujarnya saat dihubungi Bisnis, Rabu (18/7).

PEMERIKSAAN

Meski secara struktur dianggap lebih detail dibandingkan UU terdahulu. Namun, revisi UU PNBP juga mendapat sorotan, terutama mengenai mekanisme pemeriksaannya.

Dalam penjelasan pasal 41 seperti dalam draf RUU PNBP, pemeriksaan PNBP dilakukan bukan untuk menilai atau memberikan opini tentang laporan keuangan, tetapi untuk menguji tingkat kepatuhan orang atau badan.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan bahwa data soal PNBP sebenarnya lebih banyak di Direktorat Jenderal Pajak sehingga, instansi pemeriksa tak hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan (BPKP), tetapi termasuk Ditjen Pajak.

"Undang-undangnya sebenarnya sudah bagus, hanya penjelasan pasalnya mengikuti UU yang lama, sehingga pada akhirnya PNBP tak bisa diperiksa secara populasi karena mahal sekali," ungkapnya.

Pasal 41 dalam revisi UU tersebut, menurutnya, secara tidak langsung mengunci pemeriksaan hanya bisa dilakukan oleh BPKP dan BPK. Padahal perusahaan tambang yang PNBP - nya besar pasti juga wajib pajak. "Jadi kalau nanti Ditjen Pajak jadi badan bisa juga memeriksa," tukasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Edi Suwiknyo
Editor : Sutarno

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper