Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah Singapura mengeluarkan kebijakan pengetatan Loan to Value (LTV) dan penetapan pajak yang lebih besar terhadap pembeli properti.
Kebijakan tersebut diluncurkan oleh Bank Sentral Singapura setelah mencatat adanya euforia pasar properti sehingga dinilai diperlukan kebijakan pembatas untuk menekan permintaan spekulatif dan harga penjualan properti yang terlalu tinggi.
Mengutip Bloomberg pada Senin (9/7/2018), lonjakan permintaan properti spekulatif di Singapura dipicu oleh penawaran tanah dan tren redevelopment atau pembangunan ulang yang mengancam menggagalkan pembatasan yang telah dilakukan dengan hati-hati oleh pemerintah selama ini.
Irvin Seah, Ekonom DBS Group Holdings Ltc, menyambut baik pengetatan kebijakan yang dilakukan pemerintah Singapura.
“Ini adalah langkah preemtif oleh pemerintah untuk mendinginkan pasar sebelum menjadi terlalu panas,” ujar Irvin dikutip dalam Bloomberg, Senin (9/7/2018).
Dalam perarturan yang baru, masyarakat harus menyediakan uang yang lebih banyak untuk membeli properti di Singapura.
Baca Juga
Untuk pembeli asing misalnya, Singapura menaikkan pajak beli hunian hingga 20% dari pajak sebelumnya yang hanya dikenakan 15%, sedangkan untuk pembeli lokal penambahan pajak diberlakukan untuk pembelian rumah kedua yaitu kenaikan mencapai 12%.
Kemudian untuk entitas pembeli residensial untuk pengembangan, akan dikenakan pajak tambahan yang naik sebesar 10% menjadi 25% dengan 5% lebih lanjut dikenakan untuk pengembang.
Akibat dari kebijakan tersebut, beberapa nilai saham pengembang turun 6,4% setelah Bank Sentral mengumumkan kebijakan baru.
Selain itu, emiten bank juga terkena dampak dengan DBS, pemberi pinjaman terbesar di Asia Tenggara, turun 2,6%, Oversea-Chinese Banking Corp (OCBC) turun 2,3%, dan United Overseas Bank (UOB) Ltd. turun 3,1%.
Pada akhir Maret 2018, tercatat tiga bank besar Singapura yaitu DBS, OCBC, dan UOB memiliki 42% hingga 50% dari portofolio pinjaman terpapar ke sektor properti, termasuk pinjaman perumahan.