Bisnis.com, JAKARTA— Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Mereisi luasan lahan berstatus kritis dari sebelumnya 24,3 juta hektar (ha) menjadi 14 juta ha.
Direktur jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Ida Bagus Putera Prathama menegaskan berkurangnya lahan dengan status kritis ini bukan merupakan hasil restorasi melainkan penyesuaian kriteria lahan yang termasuk dalam status kritis berdasarkan sejumlah aspek.
“Pertama harus saya tekankan, meskipun turun bukan berarti kita mengklaim sudah sukses tapi karena kriterianya memang berubah. Jadi ada kemungkinan kriteria kita yang dulu itu kurang pas, sehingga over menduganya, 24,3 nah sekarang sekitar 14 juta saja,” katanya, Kamis (5/7/2018).
Salah satu contoh yang menyebabkan berkurangnya luasan lahan kritis di dalam negeri seperti masuknya lahan berupa savana dan kawah gunung dalam status lahan kritis.
Padahal, kondisi kedua lahan ini memang sesuai dengan karakter aslinya yang kering dan tidak memerlukan restorasi.
Ada pula aspek kelerengan yang masuk dalam kriteria lama di mana lahan dengan kelerengan yang curam secara otomatis masuk dalam kategori lahan kritis. Padahal, katanya, tidak semua lahan dengan kelerengan curam itu layak diberi status kritis.
Baca Juga
“Jadi, kita menggunakan kriteria tutupan lahan, erosi, kelerengan, dan tentu fungsi kawasan. Jadi, tentu kriteria di dalam kawasan dan di luar kawasan beda, kita pakai sistem skoring juga dan kita sudah menggunakan teknologi citra supaya lahan yang dinyatakan kritis itu memang betul-betul bisa direhabilitasi,” paparnya.
Kendati diakui terlambat, perubahan atas kriteria lahan kritis ini menurut Putera mengacu pada Undang-Undang Nomor 37/2014 tentang konservasi tanah dan air.