Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah menegaskan kenaikan belanja subsidi hingga Rp49 triliun per Mei 2018 karena kewajiban pembayaran utang subsidi energi yang telah dianggarkan.
Angka tersebut naik Rp10 triliun dari realisasi bulan sebelumnya April 2018.
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani mengatakan, jika dibandingkan dengan Mei 2017, realisasi subsidi energi memang tumbuh 51,7% atau dari Rp32,3 triliun.
Menurutnya, hal ini lantaran pemerintah harus memenuhi kewajiban untuk kembali melunasi utang subsidi 2016 yang sudah diaudit BPK.
"Setelah Mei tidak ada lagi pelunasan utang di tahun ini. Carry over selesai, jadi tinggal memenuhi kewajiban tagihan bulanan saja," katanya, Selasa (27/6/2018).
Hal itu, menurut Askolani, akan membuat pengeluaran menjadi lebih stabil sesuai dengan tagihan bulanannya. Juga, sesuai dengan subsidi yang ditetapkan, serta sesuai dengan volume subsidi yang didistribusikan.
Askolani menyebut meski demikian utang pemerintah untuk subsidi energi 2016 belum lunas. Sebab, untuk BBM dan LPG masih ada utang sekitar Rp10 triliun, sedangkan untuk listrik sisanya sekitar Rp2 triliun.
Adapun sesuai dengan masukan BPK, pemerintah akan kembali melunasi itu pada tahun depan. Meski ada kemungkinan pemerintah juga akan melunasi subsidi energi 2017 yang sekarang tengah diaudit oleh BPK pada 2019.
Hal ini akan dilihat dan diimplementasikan sesuai dengan keseimbangannya.
"Bila tidak ada carry over itu pola subsidi akan berjalan normal. Untuk Pertamina, polanya adalah penagihan satu bulan setelah Pertamina laksanakan distribusi subsidi solar dan LPG. Untuk listrik, biasanya ada lagi sekitar dua bulan. Namun, sekarang sudah lebih cepat karena ada sistem online,” ujarnya.
Dengan demikian, secara total pembayaran utang subsidi BBM yang telah dibayarkan kepada Pertamina per Mei 2018 sebesar Rp6,5 triliun, utang subsidi LPG sebesar Rp5,8 triliun, dan utang subsidi listrik yang dibayarkan kepada PLN sebesar Rp5,3 triliun.