Bisnis.com, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik mencatat defisit neraca perdagangan sebesar US$1,52 miliar pada Mei 2018.
“Defisit terjadi karena besarnya impor dipengaruhi pelemahan kurs rupiah, serta membengkaknya defisit migas,” kata Peneliti Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira kepada Bisnis.com, Senin (25/6/2018).
Dia mengemukakan, indikator dampak kurs rupiah terhadap impor tercermin dari harga rata-rata barang impor nonmigas turun 2,5% (mtm) dari US$1.290 per ton menjadi US$1.258 per ton. Namun, nilai impornya justru naik signifikan. Artinya nilai impor bengkak karena selisih kurs rupiah dan dolar.
Sementara bulan Mei, menjelang Lebaran, permintaan konsumsi BBM yang naik membuat defisit migas menjadi US$1,2 miliar jauh melebihi defisit periode yang sama tahun 2017 yakni US$497.
“Tekanan harga minyak yang mahal diprediksi memperburuk neraca migas hingga akhir tahun,” kata Bhima.
Dari sisi ekspor dampak perang dagang mulai dirasakan pada komoditas ekspor unggulan. Ekspor CPO minus 2,53% dibanding bulan april. Disusul karet -3,57%.
Padahal kedua komoditas tersebut berkontribusi sebesar 16,4% dari total ekspor nonmigas.
Seperti diketahui, Badan Pusat Statistik mencatat defisit neraca perdagangan sebesar US$1,52 miliar pada Mei 2018.
Pada Mei 2018, realisasi ekspor mencapai US$16,12 miliar. Namun, impornya tercatat lebih tinggi yakni menyentuh US$17,64 miliar.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto menyatakan defisit tersebut dipicu oleh impor migas yang meningkat lebih tinggi, dipengaruhi oleh harga migas.
"Kami harapkan ke depannya kembali surplus karena akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi kuartal dua," ujarnya dalam konferensi pers, Senin (25/6/2018).