Bisnis.com, JAKARTA - Pengaturan pembatasan operasional angkutan barang logistik selama momen libur Lebaran 2018 dinilai memberatkan pengusaha lantaran menghambat sejumlah produktivitas.
Selain itu, penerbitan regulasi yang kerap mendadak mengakibatkan kurangnya antisipasi dari pengusaha jasa logistik.
Chairman Supply Chain Indonesia (SCI) Setijadi mengatakan pihaknya memang memberikan apresiasi atas penyelenggaraan transportasi mudik dan balik dalam masa Lebaran yang secara umum lebih baik dari beberapa tahun sebelumnya.
Namun, kelancaran tersebut juga diperoleh dengan sejumlah aturan yang dikeluarkan Pemerintah dengan membatasi kegiatan operasional armada barang melalui Permenhub No. PM 34 Tahun 2018 tentang Pengaturan Lalu Lintas pada Masa Angkutan Lebaran Tahun 2018.
Kemudian, terbitnya surat Menteri Perhubungan No. AJ.201/1/24 PHB 2018 tanggal 5 Juni 2018 perihal Antisipasi Peningkatan Volume Lalu Lintas di Ruas Jalan Tol tanggal 8-9 Juni 2018.
Juga surat No. AJ.201/2/15/DRJD/2018 tanggal 15 Juni 2018 perihal Antisipasi Peningkatan Volume Lalu Lintas di Ruas Jalan Tol tanggal 19-20 Juni 2018.
Belum lagi peraturan dari Kepala Dinas Perhubungan Pemprov Jabar pada 28 Mei 2018 dengan surat No. 551.6/959/Perkeretaapian perihal Penghentian Pengoperasian Kendaraan Angkutan Barang pada saat menghadapi libur Lebaran.
Menurut Setijadi, kebijakan tambahan dari Dishub Jabar berpotensi mengganggu kegiatan pengiriman domestik maupun ekspor dan impor nasional, karena sebagian besar volume ekspor dan impor dari Pelabuhan Tanjung Priok adalah untuk industri di wilayah Jawa Barat.
Berdasarkan data SCI, sekitar 79% volume ekspor dan 84% volume impor dari Pelabuhan Tanjung Priok pada tahun 2016 dari Jawa Barat. Sebaran volume ekspor Jabar antara lain Bogor (4%), Bekasi (32%), Karawang (29%), Purwakarta (8%), dan Bandung (6%).
Sementara, sebaran volume impor Jawa Barat dari Bogor (10%), Bekasi (23%), Karawang (36%), Purwakarta (9%), dan Bandung (6%)
"Jika armada tidak bisa beroperasi, program pelayanan pelabuhan yang tetap buka dalam masa libur Idulfitri pun menjadi percuma," katanya, Minggu, (24/6/2018).
Dia mengatakan beberapa peraturan pembatasan operasional armada dikeluarkan kurang dari 2 bulan sebelum masa pemberlakuan. Namun, surat antisipasi arus mudik dan balik masing-masing diterbitkan sangat mendadak, yaitu 3 dan 4 hari sebelumnya.
"Penerbitan peraturan yang relatif mendadak akan berdampak signifikan tidak hanya pada perusahaan transportasi yang sudah mengatur jadwal armada, namun juga perusahaan manufaktur, distributor maupun pengecer," ujarnya.
Industri manufaktur, misalnya, sudah menentukan tingkat persediaan (stok) dengan rencana pengiriman/transportasi bahan baku mengacu peraturan pembatasan operasional armada sebelumnya.
Perusahaan tidak mudah mengubah rencananya, sehingga penundaan penerimaan bahan baku dapat mengganggu proses produksinya.
"Selain itu, pengiriman produk jadi juga tertunda, sehingga persediaan produk akan menumpuk dan membutuhkan tambahan gudang. Hal ini sangat menyulitkan perusahaan yang harus melalui tol karena tidak memiliki akses langsung ke jalan arteri," ungkapnya.
Menurutnya, peraturan pembatasan operasional armada barang harus ditetapkan jauh hari sebelumnya karena waktu dan jarak perjalanan sebagian armada yang lama.
Perusahaan transportasi termasuk pihak yang paling banyak menanggung kerugian. Dengan pembatasan operasional armada tersebut, perusahaan tidak bisa mengoperasikan armada selama 2 minggu.
"Hal ini berarti tidak ada pendapatan selama 2 minggu tersebut, sementara perusahaan harus mengeluarkan biaya-biaya tetap, termasuk biaya cicilan armada," ujarnya.