Bisnis.com, JAKARTA — Mengapa para BUMN, tidak hanya antar BUMN pangan, perlu bersinergi dan fokus pada ketahanan pangan nasional? Ada sejumlah faktor penyebab, diantaranya adalah visi BUMN ke depan serta amanat UU No.18/2012 Tentang Pangan.
Indonesia perlu fokus pada Ketahanan Pangan karena sejumlah alasan. Pertama, Indeks Ketahanan Pangan Indonesia versi FAO masih rendah yaitu di peringkat ke-69, tertinggal dibandingkan Vietnam (64), Thailand (55), dan Malaysia (41).
Kedua, kedaulatan pangan merupakan salah satu fokus Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang mencakup lima area yaitu Ketersediaan Produksi Pangan, Stabilitas Harga, Perbaikan Kualitas dan Nutrisi, Kesejahteraan Petani serta Persiapan Menghadapi Bencana.
Ketiga, pemerintah mematok target swasembada di empat komoditas yaitu padi, jagung, gula, dan kedelai dalam 3-4 tahun ke depan. Keempat, visi BUMN adalah menjamin ketersediaan pangan berkualitas dengan harga terjangkau dan stabil. Kelima, menyikapi siklus rutin yakni bagaimana menjaga stabilitas harga di hari raya dan hari besar lainnya.
Amanat UU Pangan
Merujuk pada UU No. 18/ 2012 Tentang Pangan, ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif secara berkelanjutan.
Berdasarkan definisi tersebut, ruang lingkup ketahanan pangan mencakup tiga aspek. Pertama, aspek ketersediaan. Dalam hal menjamin ketersediaan, pangan dapat berasal dari dalam negeri atau dari luar negeri melalui impor.
Kedua, aspek keamanan dan kesehatan pangan. Pangan yang tersedia harus berkualitas, bergizi dan tidak boleh mengandung zat-zat yang membahayakan kesehatan manusia.
Ketiga, aspek keterjangkauan. Ketersediaan pangan harus menyebar merata diseluruh wilayah Indonesia, semua masyarakat dapat mengakses pangan dengan harga yang terjangkau.
Sudah tiga tahun belakangan ini, terdapat drama dalam menguji kreadibilitas data BPS.
Bagaimana tidak? Kementerian Pertanian mengklaim terjadinya surplus padi hingga mencapai 20 juta ton. Namun, harga beras selalu diatas harga pembelian pemerintah (HPP) dan harga eceran tertinggi (HET).
Tidak sinkronnya data produksi dan harga, membuat Presiden Jokowi memerintahkan BPS melakukan koreksi data dan mengumumkan apa adanya pada Agustus 2018.
Tantangan Ketahanan Pangan
Selain faktor sinkronisasi data produksi pangan, tantangan lain adalah menciptakan sinergi antar BUMN, apakah antar BUMN pangan (Perum Bulog, PT Sang Hyang Sri, PT Pertani, PT Perikanan Nusantara (Perinus) dan PT Perikanan Indonesia (Perindo) maupun BUMN non pangan (termasuk BUMN Perbankan). Kementerian BUMN berharap sinergi antar BUMN dapat mengakselerasi penyelesaian sejumlah masalah krusial.
Pertama, keterbatasan lahan. Lahan untuk tanaman pangan sangat sempit, hanya 314m2/kapita (2016). Kedua, output produksi/rendahanya produktivitas karena faktor rice miling jauh dari sawah, rantai penjualan – tengkulak yang panjang, dan petani skala kecil dengan kepemilikan lahan 0,8 Ha.
Petani skala kecil membatasi akses ke benih dan pupuk bersubsidi, jasa keuangan (kredit perbankan/asuransi), pertanian modern, pengetahuan dan akses pasar serta mekanisasi pertanian.
Ketiga, kendala distribusi pangan yang mencakup antara lain infrastruktur pengumpulan dan penyimpanan. Keempat, memahami siklus-problem pangan secara lebih baik.
Di tengah persoalan di atas, apa peran Perum Bulog terkini? Bulog harus memiliki data intelijen untuk memastikan ketersediaan beras. Bulog perlu fokus dalam hal penyerapan gabah dalam negeri dan tidak menggunakan izin impor baru untuk memenuhi stok beras di Bulog serta menggenjot penjualan beras renceng (beras saset) secara komersial.
Stok beras di Bulog saat ini mencapai 1,5 juta ton atau aman untuk menghadapi Ramadan dan Lebaran. Namun bagaimana peran Bulog dalam menjamin ketahanan pangan di sepanjang 2018 dan 2019, terlebih memasuki tahun politik?
Pertama, terkait data penyerapan gabah dalam negeri. Bulog mempunyai data riil mengenai perkembangan penyerapan gabah dari hari ke hari. Meski instrumen untuk melakukan penyerapan gabah tidak memadai, Bulog tetap bisa memberikan informasi mengenai pasokan gabah di berbagai wilayah.
Kedua, data harga. Harga gabah kering panen, gabah kering giling dan harga beras dapat dipantau oleh Bulog. Data ini kemudian di-overlay-kan dengan data penyerapan. Jika tren penyerapan gabah turun dan tren harga meningkat, sinyal kekurangan pasokan beras makin menguat. Hal yang harus diwaspadai adalah peningkatan harga di Oktober 2018—Febuari 2019, karena ini tahun politik, sedikit salah kalkulasi, memiliki risiko politik juga.
Dalam rangka penyerapan gabah, Bulog sudah memiliki model yang telah sukses pada zamannya. Dari semua model tersebut, tak satupun yang dilakukan dengan model pendekatan dengan tekanan, termasuk bekerja sama dengan penggilingan padi kecil.
Namun kerja sama dengan penggilingan padi untuk menyediakan gabah/beras akan berhasil jika outlet pemasaran beras tidak terganggu. Sejak 2017, outlet terbesar Bulog yaitu Beras Sejahtera secara bertahap dikurangi dan di 2018 akan dihilangkan, diganti dengan model Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).
Jika BPNT ini mau diterapkan, penyerapan gabah Bulog tidak perlu sebesar hingga mencapai kapatas gudang sekitar 4 juta ton.
Jumlah gabah yang perlu diserap cukup untuk memenuhi operasi pasar dan beras komersial. Periode rawan untuk melakukan operasi pasar adalah Oktober 2018–Febuari 2019 (5 bulan).
Di luar revitalisasi peran Bulog, ada sejumlah inovasi strategik BUMN yang patut diapresiasi. Misalnya soal pengembangan infrastruktur—sistem distribusi. Selain itu Gerakan Stabilisasi Harga Pangan (GSHP), sebuah program sinergi BUMN untuk mewujudkan stabilitas harga beras melalui pengendalian distribusi secara terpadu.
BUMN Pangan melakukan distribusi beras di 125 kota/kabupaten. Himbara menugaskan agen-agen bank untuk menjadi penjual beras, berkoordinasi dengan BUMN pangan. Telkom menyediakan platform digital yang mengendalikan dan memantau distribusi beras.
Ada pula Program Kewirausahaan Petani yang bertujuan mewujudkan ketahanan pangan melalui peningkatan kesejahteraan petani dan akses ke perbankan. Program ini didukung Kartu Tani yang berfungsi sebagai alat transaksi berupa kartu debit sebagaimana kartu ATM yang dapat digunakan untuk membeli pupuk bersubsidi, menyalurkan Kredit Usaha Rakyat dan akses perbankan lainnya. Penerbit Kartu Tani terdiri dari tiga bank BUMN, yaitu BRI di Jawa Tengah, Bank Mandiri di Jawa Barat, dan Bank BNI untuk Jawa Timur.
Inovasi lain berupa Program Sergap (Serap Gabah) yaitu program menyerap gabah petani dengan harga Rp4.700/kg agar petani mendapat harga jual gabah yang layak.
Selain itu, ada inisiatif di bidang perkebunan yaitu revitalisasi industri gula, hilirisasi dan pengembangan industri minyak goreng, pengembangan kopi, kakao, dan kelapa di wilayah pantai selatan Jawa.
Artinya, mewujudkan ketahanan pangan merupakan program strategis jangka menengah yang penuh dengan tantangan. Program yang sudah berhasil dan sesuai jalurnya perlu diperkuat agar makin efektif dalam pelaksanaannya.
*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Jumat (8/6/2018)