Bisnis.com, JAKARTA – Rencana pemerintah untuk mendatangkan daging sapi importasi dari Brasil dapat melanggar UU No. 41 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan Dan Kesehatan Hewan. Selain itu pola kemitraan juga diharapkan dapat terbentuk untuk menekan harga.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Peternak Sapi Dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Rochadi Tawaf menilai langkah pemerintah yang terburu-buru dalam usaha membuka keran importasi daging sapi dari Brazil sama dengan pelanggaran atas undang-undang negara. Menurutnya praktik seperti ini sudah terjadi sejak pembukaan keran importasi daging kerbau beku dari India.
Pasalnya, India dan Brazil tidak termasuk dalam negara yang bebas penyakit mulut dan kuku yang diakui oleh World Organisation for Animal Health (OIE).
“Memang semuanya juga impor daging [kerbau dari] india juga melanggar UU no. 41/2014. UU itu melarang impor dari negara yang berpenyakit PMK. India sampai hari ini belum bebas PM,” katanya kepada Bisnis, Kamis (3/5/2018).
Menurutnya, selain Brasil, India, Australia dan Selandia Baru yang menjadi negara pengimpor utama dalam hal daging sapi dan sapi bakalan, pemerintah sebenarnya bisa melakukan importasi dari 30 negara yang sudah terbebas dari PMK atau ada juga negara yang memiliki zona bebas.
Namun dia pun mengakui jika India dapat memberikan harga yang kompetitif karena mayoritas penduduknya tidak mengonsumsi sapi sebagai bahan pangan. Sementara Brazil adalah salah satu negara yang punya populasi sapi terbesar dunia.
“Soalnya kan jarak menentukan harganya [daging sapi]. Kalau india bisa murah karena mereka tidak makan dagingnya jadi [harga] tidak bisa dilawan. Kalau Brasil ada zona dan dia salah satu negara yang punya populasi sapi terbesar dunia,”katanya.
Rochadi menyarankan bila ide importasi daging sapi dari Brazil terealisir agar menggunakan pola kemitraan antara importir, agen supplier dan konsumen supaya bisa menekan harga sesuai keinginan pemerintah yaitu Rp80.000 per kg.
“Memang gaya racing horse biasa dilakukan oleh pebisnis tapi yang terbaik adalah pola kemitraan. Kalau kemitraan saling ketergantungan untuk mendapatkan harga murah. [Menjalin kemitraanya] dengan siapa saja yang penting kan menguntungkan,” katanya.
Racing horse yang dimaksud oleh Rochadi dalam istilah dagang adalah mengadu dua atau lebih konsumen supaya mendapatkan harga murah. Selain itu juga, Rochadi menyoroti trik dagang yang biasa dilakukan oleh pebisnis dengan menjual di awal murah namun sesudahnya menjadi mahal.