Bisnis.com, JAKARTA—Indorama Group berencana berinvestasi di sektor petrokimia berbasis gasifikasi batu bara di Tanjung Api-api, Sumatra Selatan.
Vishnu Swaroop Baldwa, Presiden Direktur PT Indorama Synthetics Tbk. yang juga menjabat sebagai Managing Director Indorama Corporation Pte. Ltd., mengatakan perusahaan yang akan berinvestasi di sektor petrokimia gasifikasi adalah PT Indorama Glycol Indonesia.
“Perusahaan tersebut adalah anak usaha dari Indorama Ventures Public Company Limited, Thailand,” ujarnya saat dihubungi Bisnis.com, Selasa (3/4/2018).
Baldwa menuturkan Indorama Group tertarik untuk mengembangkan industri petrokimia di Indonesia karena konglomerasi ini telah lama bergerak di bisnis ini dan memiliki jaringan di beberapa negara, termasuk Indonesia untuk pabrik purified terephthalic acid (PTA) dan polyethylene terepthalate (PET) resin.
Khusus untuk proyek di Tanjung Api-api, Indorama Group tertarik untuk mengembangkan dengan harapan bisa mendapatkan insentif fiskal. Terkait dengan nilai investasi yang direncanakan, Baldwa masih enggan menyebutkan.
“Masih terlalu awal, masih kami evaluasi, tetapi investasi besar,” ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan dengan revisi aturan tax holiday yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan, dia berharap investasi di sektor hulu bisa digenjot, termasuk petrokimia berbasis gasifikasi batu bara.
Saat ini Indonesia belum memiliki perusahaan gasifikasi batu bara. Padahal, Indonesia memiliki sumber batu bara yang melimpah.
Sebelumnya, Ketua Federasi Industri Kimia Indonesia (FIKI) Suhat Miryaso mengatakan Indonesia sangat membutuhkan investasi untuk petrokimia di sektor hulu. Dengan kondisi saat ini, kebutuhan bahan baku banyak dipenuhi dari impor.
Suhat mengatakan gasifikasi batu bara terkendala oleh harga batu bara yang tidak stabil. Ketika harga batu bara menanjak tinggi, nilai proyek menjadi sulit memenuhi kriteria layak investasi.
Saat ini penggunaan batu bara sebagai bahan baku industri petrokimia banyak dijumpai di China. Bahkan model ini dinilai lebih kompetitif secara bisnis dibandingkan dengan model produksi gas alam menjadi methanol.
"Saat ini belum ada yang mulai, masalahnya investasinya sangat tinggi. Hingga tiga kali lipat. Saat ini di Indonesia baru tingkat study," katanya.
Pada 2025, industri dalam negeri masih akan kekurangan produk petrokimia, seperti propylene sebesar 720.000 ton per tahun, polypropylene 700.000 ton per tahun, para-xylene 1,1 juta ton per tahun, dan benzene 245.000 ton per tahun.