Bisnis.com, JAKARTA—Indonesia masih membutuhkan lebih banyak upaya untuk menjamin tingkat credit default swap tetap terjaga pada level yang rendah demi meningkatkan kenyamanan bagi investor asing berinvestasi di Indonesia.
Iklim investasi dunia yang relatif membaik di awal tahun ini, yang mana didukung pula oleh kondisi fundamental yang kuat dari dalam negeri, sempat mendorong tingkat CDS 5 tahun Indonesia hingga ke level terendahnya sepanjang sejarah pada 9 Januari2018 lalu, yakni 76,92.
Namun, kondisi berbalik lagi setelahnya dan CDS meningkat hingga di atas 100. CDS sempat kembali turun hinggake level 90,23 pada Senin pekan ini, tetapi kemarin meningkat tajam ke posisi 103,15 atau posisi tertingginya tahun ini. Secara umum, tingkat CDS sejumlah negara Asia Pasifik memiliki pola pergerakan yang sama.
CDS merupakan tingkat premi yang dibayar pemegang surat utang kepada perusahaan penjamin untuk menjamin pembayaran utangnya secara penuh bila obligor mengalami gagal bayar. Semakin tinggi tingkat CDS menunjukkan semakin tinggi pula persepsi resiko atas suatu instrumen surat utang.
Tingkat CDS Indonesia pernah mencapai 1328 saat krisis 2008 yang mencerminkan sangat beresikonya instrumen surat utang pemerintah saat itu. Kini, level CDS cenderung terjaga di angka yang relatif rendah, meskipun CDS Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan kebanyakan negara berkembang di Asia Pasifik.
Anup Kumar, Senior Fixed Income Analyst Bank Maybank Indonesia, mengatakan bahwa sejauh ini CDS Indonesia masih dalam tren menurun, meskipun dalam beberapa pekan terakhir meningkat. Level CDS saat ini masih merupakan level terendah sejak 2007.
Baca Juga
Peningkatan yang terjadi kemarin semata-semata disebabkan karena reaksasi sesaat pasar mengantisipasi FOMC meeting pekan ini. Hal tersebut tidak berarti iklim investasi di Indonesia memburuk.
Meskipun CDS meningkat, Anup tidak melihat adanya potensi CDS untuk meningkat lebih jauh dari posisi terkini, selama tidak ada sentimen yang terlalu negatif dari dalam negeri. Lagi pula, Indonesia sudah cukup teruji melewati masa-masa krisis dan tetap bisa mempertahankan kinerja ekonomi yang stabil.
“Menurut saya ini bukan hal yang harus dikhawatirkan. Level CDS kita pernah mencapai 250-300 pada 2015 dan tidak terjadi hal yang terlalu buruk. Itu masih jauh sekali dibandingkan level sekarang. Memang ada koreksi, tetapi tidak parah sekali,” katanya, Selasa (20/3/2018).
Anup menilai, wajar saja bila tingkat CDS kembali meningkat, mengingat yield US Treasury juga tengah berada dalam tren meningkat. Dirinya justru menilai tingkat CDS yang masih relatif rendah di tengah tren peningkatan yield surat utang saat ini adalah suatu pertanda positif bagi ekonomi Indonesia.
“CDS yang masih rendah ini menunjukkan fundamental Indonesia cukup baik di mata asing, cukup terjaga dan kondusif. Kemungkinan untuk kembali menyempit atau melebar selalu ada, tetapi pada kondisi terkini volatilitasnya sudah terjaga dan kita lihat posisi yang rendah sekarang ini sudah baik,” katanya.
Anil Kumar, Investment Manager Ashmore Asset Management Indonesia, mengatakan bahwa meningkatnya angka CDS erat terkait dengan defisit neraca perdagangan tiga bulan terakhir.
Hal ini menyebabkan cadangan devisa yang ada terus tergerus dan jelas menambah risiko negara untuk melunasi utang dalam mata uang asing.
Selain itu, peningkatan CDS juga memang turut dipengaruhi oleh dinamika di pasar global yang menyebabkan arus modal keluar terus terjadi.
Anil menilai, butuh waktu yang cukup panjang dengan sumber daya yang cukup besar untuk mampu mendorong tingkat CDS Indonesia di level yang relatif rendah, stabil dan berkelanjutan. Ada tiga upaya yang bisa ditempuh.
Pertama, mengembangkan industrialisasi dalam negeri untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk-produk dalam negeri. Dengan demikian, ketergantungan terhadap impor bisa berkurang, sementara produk ekspor juga dapat lebih bersaing di pasar internasional.
“Cara paling cepat memang adalah dengan menurunkan import melalui pelemahan mata uang, tetapi ini tidak sustainable. Ini pernah terjadi, tetapi jangan sampai kejadian lagi. Kita bisa naikkan ekspor, tinggal kemauannya ada atau tidak. Itu pertama kalau mau CDS turun, trade balance harus surplus,” katanya.
Kedua, pemerintah harus mampu memastikan investasi langsung asing atau foreign direct investment terus meningkat secara konsisten dari tahun ke tahun. Untuk itu, harus ada trobosan-trobosan lanjutan yang memungkinkan arus investasi semakin mudah masuk ke Indonesia.
Ketiga, menjamin kondisi yang memungkinkan meningkatnya investasi asing melalui pembelian portofolio investasi di dalam negeri, entah dalam bentuk surat utang maupun saham. Untuk itu, tingkat inflasi harus dijaga agar tetap rendah, sementara tingkat bunga sedikit lebih tinggi.
Selain itu, iklim makroekonomi perlu dijaga agar valuasi emiten meningkat sehingga investasi saham menjadi menarik.
“CDS harus dijaga melalui trade balance dibuat surplus dengan cara ekspor ditungkatkan, tetapi jangan yang komoditas agar ini sustain. Kalau dari komoditas, voltilitas tingkat CDS akan cukup tinggi,” katanya.
Ramdhan Ario Maruto, Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas Indonesia, mengatakan bahwa kondisi CDS yang sekarang akan cenderung stabil menimbang kondisi pasar surat utang mulai tersesuaikan (price in) terhadap dinamika yang terjadi di pasar global, termasuk kemungkinan naiknya suku bunga FRR.
Pekan lalu, investor asing sudah kembali masuk ke pasar surat utang pemerintah. Arus masuk asing tercatat senilai Rp7,04 triliun sepanjang pekan lalu. Pada Senin kemarin, kepemilikan asing bertambah lagi Rp3,66 triliun. Hal ini menandai mulai berakhirnya tren jual yang dilakukan investor asing sejak Februari lalu.
“CDS kita relatif tidak banyak fluktuasi karena ini juga dijaga BI. Saya rasa CDS akan lebih stabil pada level sekarang karena tekanan-tekanan sudah mulai berkurang,” katanya.