Bisnis.com, JAKARTA - Rancangan beleid mengenai pengenaan pajak e-commerce menunjuk marketplace sebagai satu-satunya platform penyetor pajak dari pedagang online.
Dengan adanya ketentuan tersebut, termasuk rencana pengaturan di lembaga lain, langkah untuk menciptakan level of playing field antara bisnis daring dan konvensional bisa lebih optimal.
Hestu Yoga Saksama, Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat (P2 Humas) Direktorat Jenderal Pajak menjelaskan rencana menetapkan marketplace sebagai penyetor muncul karena tidak semua channel bisa dijangkau lantaran karakteristik transaksi dan proses bisnis yang berbeda.
"Kami lebih tekankan kepada e commerce yang melalui marketplace, karena itu yang paling applicable untuk saat ini," kata Yoga kepada Bisnis, Minggu (4/2/2018).
Penetapan marketplace sebagai penyetor, lanjut Yoga, dimaksudkan supaya proses identifikasi terhadap pedagang wajib setor bisa lebih mudah.
Skema pemajakannya, platform ini akan bertindak sebagai penyetor pajak dari para pedagang. Tarif yang dikenakan juga sangat rendah.
Baca Juga
Bagi UMKM, bahkan disiapkan tarif pajak PPh final yang semula 1% menjadi 0,5%, meskipun aturannya saat ini sedang dalam proses revisi.
Kendati demikian, otoritas pajak mengakui, keputusan ini ada untung ruginya karena bisa memicu migrasi para pedagang dari marketplace ke luar tempat tersebut.
Namun otoritas pajak tetap berharap hal itu tak terjadi, terlebih marketplace memiliki mekanisme transaksi yang lebih aman dan nyaman bagi konsumen, dibandingkan yang lain.
"Jadi kita akan menyelesaikan satu per satu, tidak bisa kita selesaikan seluruhnya saat ini juga. Kita mengharapkan dukungan platform marketplace dan stakeholder lainnya untuk menciptakan sistem pemajakan yang fair, efektif dan sederhana," pungkasnya.
Adapun platform e-commerce non marketplace, meski tak masuk skema, mereka tetap wajib memenuhi kewajiban pajak. Proses pemenuhan kewajibannya secara umum menggunakan skema self assessment, yaitu melaporkan penghasilannya dalam SPT Tahunan.
"Ke depan kita tetap akan mencari mekanisme pemajakan untuk pelaku usaha melalui medsos [atau yang lain] ini dengan lebih efektif dan efisien," jelasnya.
Mengutip kajian Kementerian Keuangan berdasarkan data dari lembaga survei internasional e-marketer, awal tahun 2017 penetrasi pengguna internet di Indonesia mencapai 132,7 juta dengan 106 juta diantaranya adalah pengguna media sosial.
Sementara itu dengan total populasi pengguna gawai sebesar 371,4 juta, 9% atau sebanyak 24,7 diantaranya telah melakukan pembelian secara e-commerce.
Lembaga survei itu juga memproyeksikan tahun 2018, nilai perdagangan e-commerce Indonesia berada peringkat 6 di kawasan Asia Pasifik dengan pertumbuhan sebesar US$10,92 miliar atau setara dengan Rp147,4 triliun.
Data lembaga survei internasional tersebut diperkuat dengan analisis Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan.
Badan think tank Kemenkeu itu menyebutkan bahwa penjualan online mengambil porsi penjualan retail sebesar 3,5% pada 2017 dan akan mencapai 4,8% pada 2019.
Pada tahun 2016 pertumbuhan keseluruhan penjualan retail sebesar 55,2%. Dengan pertumbuhan tersebut, pasar e-commerce rata-rata menggerus 0,65% pasar retail.