Bisnis.com, JAKARTA—DPR mengingatkan pembentukan Holding BUMN Migas harus melalui persetujuan parlemen, yang ketentuannya diatur dalam Undang-undang tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) no.19/2003 dan Undang-undang tentang Minyak Bumi dan Gas No.22/2001.
Wakil Ketua Komisi XI DPR dari dari Fraksi PAN, Achmad Hafisz Thohir menegaskan bahwa proses holding BUMN Migas harus melalui persetujuan DPR, sebagaimana yang diatur pada Undang-undang.
"Memang saham negara itu tidak hilang karena dia disertakan dalam bentuk modal pada perusahaan tertentu, tapi disana ada pergeseran kepemilikan dan komposisi, sehingga harus melalui persetujuan DPR," katanya hari ini Selasa (23/1/2018).
Walaupun niat daripada holding itu baik, lanjut Thohir, bukan berarti pembenaran untuk melanggar perundang-undang yang ada. "Jangan sekonyong- konyong melanggar Undang-Undang dengan alasan untuk mengefektifkan kegiatan."
Dia menilai pembentukan hoding ini akan sulit terkonsolidasi dan bermasalah secara akuntan. Pemerintah mempertahankan status BUMN pada perusahaan yang dijadikan anak holding dengan menyisakan sebagian kecil saham dwi warna yang disebut saham istimewa.
Saham istimewa dwi warna pada anak holding itulah yang menjadi ganjalan dalam melakukan konsolidasi aset. Karena jika dipaksakan, akan bertentangan dengan kaidah Peraturan Standar Akuntansi 65 (PSAK 65) dalam neraca laporan keuangan. Sementara itu PSAK 65 juga terintegrasi atau merefer ke International Financial Reporting Standart (IFRS).
"Nanti bermasalah, kan keuntungan akan dikonsentrasi menjadi modal pada tahun berikutnya," pungkas Thohir.
Pemerintah akan menyatukan PT Pertamina (Persero) kepada PT Perusahaan Gas Negara (Persero) dimana Pertamina akan menjadi hplding company BUMN migas.