Bisnis.com, JAKARTA— Institute for Development of Economics and Finance menyoroti ketimpangan pendapatan yang terjadi di DI Yogyakarta. Pasalnya, Daerah Istimewa Yogyakarta sukses mempertahankan ‘prestasinya’ sebagai provinsi dengan tingkat ketimpangan paling tinggi di Indonesia.
Badan Pusat Statistik menunjukkan tingkat ketimpangan Yogyakarta bertahan di posisi tertinggi selama tiga periode berturut-turut dibandingkan dengan 94 provinsi di Indonesia. Dalam rilis BPS disebutkan bahwa gini ratio D.I. Yogyakarta pada Maret 2017 berada di angka 0,432 dengan rincian gini ratio perkotaan sebesar 0,435 dan pedesaan 0,34.
Angka tersebut meningkat 0,012 poin jika dibandingkan dengan Maret 2016 yang berada di angka 0,420 dan naik 0,007 jika dibandingkan dengan September 2016 yang berada di angka 0,425.
Menanggapi hal itu, Ekonom Indef Bhima Yudhistira mengatakan melonjaknya gini rasio di daerah istimewa, khususnya di perkotaan, tersebut disebabkan lantaran banyaknya spekulasi tanah, pembangunan mal dan hotel.
Sebab itu, dia menyarankan salah satu cara agar masalah ketimpangan bisa teratasi adalah dengan mengendalikan harga tanah dari permainan spekulan.
“Pertama kendalikan harga tanah dari permainan spekulan. Karena harga properti yang mahal menjadi sulit dijangkau warga asli Jogja terutama dari kelompok miskin, sementara kondisi saat ini hunian di perkotaan Jogja lebih dinikmati oleh para pendatang dari kelompok kaya. Instrumen pengendalian harga salah satunya dengan memberikan denda yang tinggi bagi pemilik lahan sawah yang mengkonversi jadi bangunan. Padahal aturannya tidak boleh sawah dijadikan properti apalagi mal dan hotel,” kata Bhima, Selasa (18/7).
Dia menuturkan sejauh ini izin pembangunan hotel dan mal di Yogyakarta cenderung mudah didapat. “Tata ruang di jogja liar sekali, izin hotel dan mal mudah didapat. Padahal lahannya diperuntukkan persawahan,”pungkasnya.