Bisnis.com, JAKARTA – Skema pajak diverted profit tax yang diterapkan Inggris dan Australia bakal diadopsi pemerintah untuk menyusun regulasi perpajakan terhadap bisnis digital over the top (OTT).
Regulasi itu rencananya akan dimasukkan ke dalam pembahasan revisi undang-undang atau RUU Pajak Penghasilan atau PPh.
Heru Marhanto Utomo, Kepala Sub Direktorat Manajemen Transformasi Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak memaparkan, pemerintah perlu memperbarui regulasi perpajakan, pasalnya yang berlaku saat ini belum tegas mengatur soal pemajakan bagi perusahaan OTT asing misalnya Google, Facebook, dan Yahoo.
Otoritas pajak, kata Heru, selama ini hanya berpegang pada sebuah Surat Edaran Menkominfo Nomor 3/2016 yang mewajibkan bagi perusahaan OTT mempunyai bentuk usaha tetap atau BUT untuk memajaki perusahaan OTT tersebut.
“Terpaksa memang harus kami lakukan untuk mengantisipasi perkembangan teknologi, penerbitan SE ini menegaskan undang-undang yang ada saat ini. Tetapi memang kurang kuat, karena berlaku bagi internal dan bukan bagian dari perundang-undangan,” kata Heru di Jakarta, Kamis (15/6/2017) malam.
Adapun, rencana memasukkan skema diverted profit tax dalam revisi UU PPh memang masih dalam tahap awal. Draf RUU PPh yang sudah dikaji pemerintah juga belum terlalu secara detail membahas soal pemajakan terhadap perusahaan OTT asing.
Baca Juga
Oleh karena itu, jika revisi UU PPh dibahas, Heru berharap poin soal pola perpajakan baru bagi bisnis digital khususnya kepada perusahaan OTT asing bisa dibicarakan dan menjadi salah satu pembahasan di dewan nantinya.
“Ya di sana memang belum ada sosl OTT ini, karena yang ada di DPR masih yang lama, jadi bahasanya masih globalisasi. Tapi nanti biasanya di DPR akan diusulkan dan akan menjadi pembahasan di sana,” jelas Heru.
Wacana implementasi regulasi yang memajaki perusahaan OTT tersebut muncul seiring kasus pajak Google Asia Pacific Pte Ltd. Pemerintah dikabarkan telah menjalin kesepakatan pajak dengan perusahaan tersebut.