Bisnis.com, JAKARTA—Setelah sempat melemah pada 3 tahun terakhir, angin segar mulai berembus ke sektor pakaian jadi. Ini dapat dilihat dari proyeksi Asosiasi Pertekstilan Indonesia yang menyebutkan ekspor bakal positif pada kuartal II tahun ini.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat mengatakan relokasi pabrik ke sejumlah daerah di Jawa Tengah yang mendorong pertumbuhan pabrik baru berteknologi tinggi ikut mendorong produktivitas pabrikan pakaian jadi. Selain itu, pebisnis juga banyak mempekerjakan tenaga kerja terlatih. Alhasil, daya saing produk pakaian jadi pun terdongkrak.
“Saat ini untuk produk pakaian jadi, Indonesia sudah head-to-head dengan China, sudah cukup kompetitif,” jelas Ade di Jakarta, Selasa (7/6) malam.
Sayangnya, sejumlah masalah masih mengadang pabrikan, terutama biaya energi. Selain memukul industri hilir, ongkos operasional yang tinggi karena biaya listrik ini juga dikeluhkan oleh pelaku industri hulu. Pemangkasan biaya listrik diperlukan industri untuk menekan biaya pokok produksi dan meningkatkan daya saing produk.
Baca Juga
“Secara umum energy cost untuk industri tekstil masih tinggi. Energy cost perlu diturunkan supaya bisa bersaing dengan negara lain,” ujar Presiden Direktur PT Asia Pacific Fibers Tbk. Ravi Shankar, belum lama ini.
Ravi menyatakan biaya energi merupakan salah satu komponen biaya terbesar bagi industri tekstil. Menurutnya, biaya listrik yang dikenakan bagi industri tekstil di dalam negeri rata-rata senilai US$12 sen per kWh.
Sementara itu, negara negara pesaing utama Indonesia di bidang tekstil menetapkan tarif listrik yang jauh lebih kompetitif. Ia mengumpamakan pabrikan tekstil di Vietnam dan Bangladesh hanya dikenai biaya listrik senilai US$6—US$7 sen per kWh.
Ketimpangan biaya energi itu, menurutnya, menjadi salah satu factor stagnasi industri tekstil di dalam negeri. “Kalau dilihat 3—4 tahun ke belakang kalau pertumbuhan tekstil kita flat. Pada saat yang bersamaan India, China, Vietnam, dan Bangladesh tumbuh pesat sekali.”