Bisnis.com, JAKARTA - Badan Pemeriksa Keuangan untuk pertama kalinya sejak tahun 2004 memberikan opini wajar tanpa pengecualian terhadap laporan keuangan pemerintah pusat.
Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara mengatakan, opini tersebut diberikan karena sejumlah temuan lembaga auditor negara pada tahun lalu hampir semuanya diselesaikan pemerintah.
"Berdasarkan hasil pemeriksaan yang telah kami lakukan, LKPP tahun 2016 telah menyajikan secara wajar untuk seluruh aspek yang material sesuai dengan standar akuntansi pemerintah," kata Moermahadi di DPR, Jumat (19/5/2017).
Kendati memperoleh WTP, pemerintah masih perlu menindaklanjuti rekomendasi-rekomendasi BPK atas temuan semua sistem pengendalian intern dan kepatuhan.
"Tindak lanjut tersebut penting bagi pemerintah sehingga penyajian pertanggungjawaban pelaksanaan APBN tahun depan akan baik," jelasnya.
Adapun tahun lalu, BPK memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) kepada LKPP 2015.
Baca Juga
Waktu itu lembaga auditor negara tersebut menemukan ketidaksesuaian standar akuntansi pemerintahan, kelemahan sistem pengendalian intern, dan ketidakpatuhan terhadap undang-undang.
Salah satu masalah yang mencuat dalam LKPP 2015 itu yakni saat pemerintah pusat menyajikan Investasi Permanen Penyertaan Modal Negara (PMN) per 31 Desember 2015 sebesar Rp1,8 triliun.
PLN mengubah kebijakan akuntansinya dari yang sebelumnya pada 2012-2014menerapkan ISAK 8 menjadi tidak lagi menerapkan sistem itu, padahal OJK mewajibkan PLN menerapkannya sebagai standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia dalam penyusunan dan penyajian laporan keuangan.
Temuan berikutnya adalah pemerintah menetapkan harga jual eceran minyak solar bersubsidi lebih tinggi dari harga dasar, termasuk pajak dikurangi subsidi tetap, sehingga membebani konsumen dan menambah keuntungan badan usaha melebihi dari yang seharusnya Rp3,19 triliun. Pemerintah belum menetapkan status dana itu.
Adapun temuan ketiga menyangkut piutang bukan pajak sebesar Rp1,82 triliun dari uang pengganti perkara tindak pidana korupsi pada Kejaksaan RI dan sebesar Rp33,94 miliar dan 206,87 dolar AS dari iuran tetap, royalti, dan penjualan hasil tambang (PHT) pada Kementerian ESDM tidak didukung dokumen sumber yang memadai serta sebesar Rp101,34 miliar tidak sesuai hasil konfirmasi kepada wajib bayar.
Selanjutnya temuan keempat, persediaan di Kementerian Pertahanan sebesar Rp2,49 triliun belum sepenuhnya didukung oleh penatausahaan, pencatatan, konsolidasi, dan rekonsiliasi barang milik negara yang memadai serta persediaan untuk diserahkan ke masyarakat pada Kementerian Pertanian sebesar Rp2,33 triliun belum dapat dijelaskan status penyerahannya.
BPK juga menemukan masalah pencatatan dan penyajian catatan dan fisik saldo anggaran lebih yang tidak akurat sehingga kewajaran transaksi dan saldo terkait hal itu sebesar Rp6,60 triliun tidak dapat diyakini.